PEMBAGIAN
HADITS DITINJAU DARI SEGI BILANGAN PARA
PERAWINYA
Hadits-hadits Rasulullah saw. yang sampai kepada kita sekarang ini,
tidak terlepas dari peran serta para perawi hadits. Kita menerima hadits tidak
secara langsung mendengar atau melihat sendiri dari Rasulullah saw. melainkan
hanya dengan perantaraan para perawi yang memberitakannya. Jumlah para perawi
untuk setiap hadits berbeda-beda. Ada
hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya banyak, dan ada pula
hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu atau dua orang perawi saja. Keadaan
ini nantinya akan membawa pengaruh terhadap mutu dan kedudukan hadits tersebut.
Oleh karena itu, perlu kita ketahui macam-macam hadits dilihat dari segi
jumlah bilangan para perawi hadits. Para ulama
ahli hadits telah membagi hadits dari segi bilangan perawi ke dalam dua bagian.
Pertama, hadits mutawatir, kedua hadits ahad, yang terdiri dari hadits masyhur,
hadits gharib, dan hadits 'aziz.
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Pengertian mutawatir dari segi bahasa adalah yang datang kemudian,
beriringan tanpa terhalang oleh yang lain. Adapun pengertian mutawatir menurut
istilah adalah:
هُوَ خَبَرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يَجِبُ فِى
الْعَادَةِ اِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى الْكَذِبِ
Artinya:
"Yaitu
suatu hadits yang diperoleh melalui hasil tanggapan panca indera yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat kebisaaan mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta".
2.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka suatu hadits baru dapat
digolongkan mutawatir apabila memiliki persyaratan sebagai berikut:
a.
Periwayatan atau
pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
panca inderanya sendiri, bukan dugaan atau renungan.
b.
Jumlah perawi hadits
tersebut harus mencapai suatu jumlah yang tidak mungkin mereka sepakat
berdusta. Jumlah yang tidak mungkin berdusta itu paling sedikit 6 orang, bahkan
ada pula yang mengatakan harus mencapai 40 orang.
c.
Jumlah bilangan perawi
dalam setiap tingkatan (thabaqat) yang menyampaikan hadits harus seimbang. Yakni jumlah perawi
tingkatan pertama dan berikutnya harus seimbang/sama atau lebih besar.
3.
Penjelasan Syarat
a.
Pewartaan yang
disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indera.
Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Kalau pewartaan itu hasil pemikiran semata-mata atau hasil
rangkuman dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil istimbat dari
satu dalil dengan dalil yang lain, bukan berita mutawatir. Misalnya pewartaan
orang banyak tentang ke-baharu-an alam semesta yang berpijak kepada dalil aqli,
bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda baharu (yang diciptakan oleh
pendipta). Oleh karena alam semesta ini bisa rusak, sudah barang tentu ia benda
baharu. Demikian juga pewartaan ahli filsafat tentang ke-Esa-an Tuhan menurut
teori filsafatnya bukan merupakan berita mutawatir.
b.
Jumlah rawi-rawinya
harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka sepakat bohong. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan yang
diperlukan atau tidak memungkinkan bersepakat dusta.
1)
Abu't Thayyib
menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi
yang diperlukan hakim untuk memberi vonis kepada terdakwa.
2)
Asy Habusy Syafi'i
menentukan minimal 5 orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang
mendapat gelar ulul azmi.
3)
Sebagian ulama
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan ketentuan yang telah
difirmankan Allah dalam surat Al Anfal ayat 65, tentang sugesti Tuhan kepada
orang-orang mu'min yang tahan uji, yaitu hanya dengan jumlah 20 orang saja
mampu mengalahkan orang kafir sejumlah 200 orang.
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا
مِائَتَيْنِ (الانفال: 65)
Artinya:
"Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh."
4)
Ulama yang lain
menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka
mengqiyaskan dengan firman Allah:
يَآاَيُّهَا النَّبِيُّ
حَسْبُكَ اللهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (الانفال: 64)
Artinya:
"Ya Nabi,
cukuplah Allah dan orang-orang mu'min yang mengikutimu (menjadi
penolongmu)".
Keadaan
orang-orang mu'min pada waktu itu baru 40 orang. Jumlah sekian itulah yang
merupakan jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam
mencapai suatu tujuan.
Jumlah rawi-rawi
sebagaimana yang telah mereka tentukan batas minimalnya itu, tidak dapat
dijadikan pegangan yang kuat, karena alasan yang mereka kemukakan untuk
mempertahankan pendapatnya menyimpang dari inti pokok persoalannya. Sebab
persoalan prinsip yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya
jumlah rawi-rawi tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur kepada
tercapainya ilmu dlaruri. Walaupun jumlah rawi-rawi itu tidak banyak
sekalipun, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan itu
benar-benar meyakinkan, maka hadits itu sudah dapat dimasukkan ke dalam
golongan hadits mutawatir.
c.
Adanya keseimbangan
jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah
rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, jika suatu hadits
diriwayatkan oleh sepuluh orang shahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi'i dan
seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi'it-tabi'in, bukan tergolong
hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah
pertama, kedua, dan ketiga.
4.
Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama
telah membagi hadits mutawatir kepada tiga bagian, yaitu hadits mutawatir
lafdzi, hadits mutawatir maknawi, dan hadits mutawatir 'amali.
a. Hadits mutawatir lafdzi
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits mutawatir dengan susunan redaksi
yang persis sama, dan dengan demikian garis besar serta perincian maknanya
tentu sama pula. Juga dipandang sebagai hadits mutawatir lafdzi, hadits
mutawatir dengan susunan redaksi yang sedikit berbeda, karena sebagian
digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda, tetapi jelas
sama makna atau maksudnya) sehingga garis besar dan perincian hadits itu tetap
sama.
Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir lafdzi sangat
sedikit. Di antara contoh yang diberikan oleh jumhur ulama adalah hadits yang
berbunyi:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَّبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخارى وغيره)
Artinya:
"Rasulullah
saw. bersabda: Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan atas namaku, maka dia
akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka". (HR. Bukhari dan
lain-lain)
Hadits di atas, menurut keterangan Abu Bakar
Al Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang shahabat; bahkan menurut
keterangan ulama lain, ada enam puluh orang shahabat Rasul yang meriwayatkan
hadits itu dengan redaksi yang sama.
Contoh-contoh lain dari hadits mutawatir
lafdzi, menurut jumhur ulama adalah hadits yang menerangkan tentang kefardluan
membaca surat
Al Fatihah dalam shalat, hadits tentang menyapu kasut atau sepatu pada waktu
berwudlu, dan hadits yang melarang kita melakukan shalat di atas kuburan
(selain dari shalat jenazah).
b. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah hadits
mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun redaksi dan perincian maknanya
berbeda. Dengan kata lain, hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda
redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits
mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadits-hadits yang termasuk hadits
mutawatir lafdzi. Di antara contoh hadits mutawatir maknawi adalah hadits
tentang mengangkat tangan pada waktu berdo'a minta hujan. Dijumpai
hadits-hadits yang jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh buah dengan redaksi
dan perincian maknanya berbeda, namun terkandung makna umum yang sama, yang
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. mengangkat tangannya pada waktu berdo'a minta
hujan.
Tiga di antara hadits-hadits itu berbunyi
sebagai berikut:
1)
قَالَ
اَنَسٍ أَتَى رَجُلٌ اَعْرَبِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلَكَتِ
الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ يَدَيْهِ
يَدْعُوْ وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ يَدْعُوْنَ قَالَ
أَنَسٌ فَمَا خَرَجْنَا مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى مُطِرْنَا (رواه البخارى)
Artinya:
"Anas berkata: seorang Arab pedesaan
(pegunungan) datang dan berkata (kepada Rasulullah): Wahai Rasulullah, telah
binasa binatang ternak, keluarga, dan banyak manusia (lantaran dilanda
kekeringan), maka Rasulullah mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a (memohon
hujan), dan orang-orang pun mengangkat tangan mereka, (ikut) berdo'a bersama
Rasulullah, Anas berkata: hujan turun sebelum kami keluar dari masjid". (HR.
Bukhari)
2)
مَا
رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حَتَّى رُوْىَ
بَيَاضُ إِبْطَيْهِ بِشَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ اِلاَّ فِى اْلاِسْتِسْقَاءِ (متفق عليه)
Artinya:
"Rasulullah saw. pada waktu berdo'a
tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat ketiaknya yang
putih, kecuali pada waktu berdo'a memohon hujan". (HR. Muttafaqun 'Alaih)
3)
قَالَ
عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابِ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحُ بِهِمَا
وَجْهَهُ (رواه الترمذى)
Artinya:
"Umar bin Khaththab berkata: Rasulullah
bila telah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdo'a, belum menurunkan
keduanya sebelum menyapukan keduanya itu ke mukanya". (HR. Turmudzi)
Ketiga hadits di atas, kendati berbeda redaksi
dan perincian maknanya, jelas mengandung pengertian umum yang sama, yaitu
Rasulullah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdo'a.
c. Hadits Mutawatir 'Amali
Hadits mutawatir 'amali adalah hadits
mutawatir yang berhubungan dengan perbuatan Rasulullah saw. yang disaksikan dan
ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan
diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
C Seperti hadits mutawatir maknawi, jumlah
hadits 'amali cukup banyak. Di antara contohnya adalah hadits-hadits yang
berkenaan dengan waktu shalat fardlu, jumlah rakaatnya, shalat jenazah, shalat
ied, dan kadar zakat harta.
Contoh hadits
yang berkenaan dengan waktu shalat fardlu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِىَ اللهُ عَنهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ
ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَالَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ, وَوَقْتُ الْعَصْرِ
مَالَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ, وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ
الشَّفَقُ, وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ اْلأَوْسَطِ,
وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ,
فَإِذَا طَلَعَةِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلاَةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ
بَيْنَ قَرْنِى الشَّيْطَانِ (رواه مسلم)
Artinya:
"Diriwayatkan
dari Abdullah bin Amru bin Al 'Ash r.a. bahwasannya Rasulullah pernah bersabda:
Waktu Zhuhur adalah apabila matahari telah condong sedikit ke barat hingga
bayangan seseorang menyamai panjang orangnya, selama ashar belum tiba, waktu
Ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu Maghrib adalah selama mega
merah belum menghilang, waktu Isya adalah hingga separoh malam yang tengah, dan
waktu Subuh adalah sejak terbit fajar selama matahari belum terbit. Apabila
matahari telah terbit, maka janganlah kamu lakukan shalat, karena matahari itu
muncul di antara dua tanduk setan". (HR. Muslim)
5. Kedudukan Hadits Mutawatir
Seperti telah
disinggung di atas, hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir adalah
hadits-hadits yang pasti (qath'i atau maqthu') berasal dari
Rasulullah. Para ulama menegaskan bahwa hadits
mutawatir membuahkan 'ilmu qath'i (pengetahuan yang pasti, yakni
pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan, atau taqrir
(persetujuan) yang diberitakan dalam hadits-hadits itu, sungguh-sungguh
perkataan, atau persetujuan Rasulullah saw. Para
ulama juga menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan 'ilmu dlaruri
(pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya),
yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan,
perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadits itu benar-benar
perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah saw. sehingga dapat
dipastikan kebenarannya. Taraf kepastian bahwa hadits mutawatir itu
sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah saw. adalah penuh, dengan kata lain
kepastian itu mencapai taraf seratus persen (100 %).
Oleh karena itu,
kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber hukum atau sebagai sumber ajaran
Islam sangat tinggi. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama
nilainya menolak kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah (Rasulullah).
Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari
kedudukan hadits ahad.
6. Contoh Hadits Mutawatir Dengan Jumlah
Perawinya
a. مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Menurut Abu Bakar Al Bazzar, hadits di atas
diriwayatkan oleh 40 orang shahabat. Ulama lain berpendapat bahwa hadits
tersebut diiwayatkan oleh 60 orang shahabat.
b. اَلرَّفْعُ
لِلْيَدَيْنِ فِى الصَّلاَةِ
Diriwayatkan oleh 50 orang shahabat.
c. اَلشَّفَاعَةُ
وَالْحَوْضُ
Diriwayatkan oleh + 50 orang shahabat.
d. اَلْمَسْحُ
عَلَى الْخُفَّيْنِ فِى الْوُضُوْءِ
Diriwayatkan oleh 40 orang shahabat.
e. نَضَّرَ
اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ ...
Diriwayatkan oleh 30 orang shahabat.
f. نَزَلَ
الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Diriwayatkan oleh 27 orang shahabat.
Hadits Ahad
1. Pengertian Hadits Ahad
Ahad (baca: aahaad),
menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad. Bila waahid
atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya berarti
satu-satu. Hadits ahad menurut bahasa berarti hadits satu-satu. Sebagaimana
halnya dengan pengertian hadits mutawatir maka pengertian hadits ahad menurut
bahasa terasa belum jelas. Oleh sebab itu, baiklah kita lihat batasan-batasan
yang diberikan oleh para ulama. Batasan hadits ahad antara lain berbunyi:
اَلْحَدِيْثُ اْلاَحَدُ
هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِىْ لَمْ يَبْلُغْ رُوَاتُهُ مَبْلَغَ الْحَدِيْثَ
الْمُتَوَاتِرِ, سَوَاءٌ كَانَ الرَّاوِى وَاحِدًا اَوِاثْنَيْنِ اَوْ ثَلاَثَةً
اَوْ اَرْبَعَةً اَوْ خَمْسَةً إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ اْلاَعْدَادِ الَّتِى
لاَتُشْعِرَ بِاَنَّ الْحَدِيْثَ دَخَلَ بِهَا فِى خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ
Artinya:
"Hadits ahad
adalah hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir,
baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, atau seterusnya, tetapi
jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut
masuk dalam kelompok hadits mutawatir".
Singkatnya, dapat
dikatakan bahwa hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits mutawatir. Ingatlah kembali tiga syarat hadits mutawatir, sebagaimana
tercantum pada bagian terdahulu. Bila suatu hadits tidak memenuhi syarat hadits
mutawatir, maka hadits itu masuk ke dalam kelompok hadits ahad. Baiklah kita
kemukakan kembali salah satu syarat hadits mutawatir, yang berkenaan dengan
jumlah rawi. Seperti telah kita ketahui, ada ulama yang berpendapat bahwa
paling sedikit jumlah rawi hadits mutawatir adalah sepuluh orang. Dengan
demikian menurut pendapat tersebut, hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua,
tiga, empat atau bahkan oleh sembilan orang rawi dimasukkan ke dalam kelompok
hadits ahad. Menurut pendapat yang lain, hadits mutawatir haruslah diriwayatkan
oleh paling sedikit dua puluh orang rawi, sedangkan hadits yang diriwayatkan
oleh sembilan belas orang rawi dimasukkan ke dalam kelompok hadits ahad. Masih
ada beberapa pendapat yang lain, seperti pendapat bahwa jumlah minimal rawi
hadits mutawatir haruslah empat puluh orang rawi; bila pendapat ini diikuti,
maka hadits yang diriwayatkan oleh tiga puluh sembilan rawi tentu masuk ke
dalam kelompok hadits ahad. Kendati para ulama berbeda pedapat tentang batas
minimal jumlah rawi hadits mutawatir, atau batas maksimal hadits ahad, namun
mereka sepakat bahwa jumlah rawi hadits ahad lebih sedikit dibanding jumlah rawi hadits mutawatir.
2. Kedudukan Hadits Ahad
Bila hadits
mutawatir dapat dipastikan seluruhnya berasal dari Rasulullah saw. maka tidak
demikian halnya hadits ahad. Hadits ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah
saw. tetapi diduga (dzanni atau madznun) berasal dari beliau.
Dengan kata lain
hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah saw. dan mungkin pula tidak
benar berasal dari beliau. Taraf dugaan terhadap hadits-hadits yang termasuk
hadits ahad tidaklah sama. Taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah saw.
tidak sama. Ada
hadits yang sangat besar taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah saw. ada
pula hadits yang sangat kecil taraf kemungkinannya berasal dari beliau, dengan
kata lain, sangat kecil dugaan bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah.
Di samping itu ada juga hadits yang taraf kemungkinannya berasal dari
Rasulullah sama besarnya dengan taraf kemungkinannya tidak berasal dari beliau;
dengan kata lain sama besarnya taraf dugaan bahwa hadits itu berasal dari
beliau dengan taraf dugaan bahwa hadits itu tidak berasal dari beliau.
Karenanya, hadits
ahad tidak dapat dipastikan (ghairu qath'i atau ghairu maqthu'),
tetapi diduga (dzanni atau madznun) berasal dari Rasulullah saw.,
maka kedudukan hadits ahad sebagai sumber hukum Islam atau sebagai sumber
ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadits mutawatir. Ini berarti bahwa jika
suatu hadits yang termasuk kelompok hadits ahad bertentangan isinya dengan
hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak dan dipandang sebagai
hadits yang tidak berasal dari Rasulullah saw.
Bila diperinci
lebih lanjut, kedudukan hadits ahad itu berbeda-beda, sejalan dengan perbedaan
taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah saw. Sebagian
hadits-hadits tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadits yang
lain, kendati semuanya sama-sama termasuk hadits ahad. Hadits-hadits ahad itu
ada yang dinilai shahih, hasan, dan ada pula yang dinilai dla'if. Kedudukan
hadits shahih lebih tinggi dari kedudukan hadits hasan dan kedudukan hadits
hasan lebih tinggi dari kedudukan hadits dla'if (hadits shahih, hasan dan
dla'if akan dibicarakan secara khusus pada bab kedua).
Demikianlah
kedudukan hadits ahad yang secara umum, berada di bawah kedudukan hadits
mutawatir dan secara terperinci mempunyai kedudukan yang berbeda-beda.
3. Perbedaan Hadits Ahad dengan Hadits Mutawatir
Dari
uraian-uraian terdahulu, cukup jelas bahwa hadits ahad berbeda dengan hadits
mutawatir. Perbedaan keduanya dapat ditegaskan sebagai berikut:
a.
Dari segi jumlah rawi, hadits mutawatir diriwayatkan oleh para rawi
yang jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat
kebisaaan mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan
hadits ahad diriwayatkan oleh rawi atau para rawi dalam jumlah yang menurut
adat kebisaaan masih memungkinkan dia atau mereka untuk sepakat berdusta.
b.
Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadits mutawatir
menghasilkan ilmu qath'i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu dlaruri
(pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadits itu sungguh-sungguh
berasal dari Rasulullah saw. sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan
hadits ahad menghasilkan ilmu dzanni (pengetahuan yang bersifat dugaan)
bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw. sehingga kebenarannya masih
berupa dugaan pula.
c.
Dari segi kedudukan, hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadits ahad. Sedangkan kedudukan
hadits ahad sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadits
mutawatir.
d.
Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa
keterangan matan hadits mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat
Al Qur'an, sedangkan keterangan matan hadits ahad mungkin saja (tidak mustahil)
bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur'an. Bila dijumpai hadits-hadits
dalam kelompok hadits ahad, yang keterangan matannya bertentangan dengan
keterangan ayat Al Qur'an, maka hadits-hadits itu ditetapkan secara pasti
sebagai hadits-hadits yang tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah
mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al
Qur'an.
4. Pembagian Hadits Ahad
Dilihat dari segi
jumlah rawi atau jumlah sanad suatu hadits, maka para ulama membagi hadits ahad
menjadi tiga bagian, yaitu hadits masyhur (hadits mustafidz), hadits 'aziz, dan
hadits gharib. Sebagaimana pernah disinggung pada bagian terdahulu, ada juga
ulama yang tidak menyamakan hadits masyhur dengan hadits mustafidl. Dengan
demikian ulama tersebut membagi hadits ahad menjadi empat kelompok, yaitu
hadits mustafidz, hadits masyhur, hadits 'aziz, dan hadits gharib.
a. Hadits masyhur (hadits mustafidl)
Masyhur menurut
bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidl menurut
bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa,
hadits masyhur dan hadits mustafidl sama-sama berarti hadits yang sudah
tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa, para ulama
juga memandang hadits masyhur dan hadits mustafidl sama dalam pengertian ilmu
hadits, atau dengan kata lain keduanya diberi batasan yang sama, yaitu:
اَلْحَدِيْثُ الْمَشْهُوْرُ (اَوِالْحَدِيْثِ الْمُسْتَفِضْ) هُوَ
الْحَدِيْثُ الَّذِىْ رَوَاهُ الثَّلاَثَةُ فَأَكْثَرُ وَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ
التَّوَاتُرِ
Artinya:
"Hadits
masyhur (hadits mustafidl) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi
atau lebih, dan belum mencapai derajat hadits mutawatir".
Berdasarkan
batasan di atas, jumlah rawi hadits masyhur (hadits mustafidl) pada setiap
tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga, maka
jumlahnya itu belum mencapai jumlah rawi hadits mutawatir. Bila sebuah hadits
pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan kemudian pada
tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi,
maka hadits tersebut berdasarkan batasan di atas belum mencapai derajat hadits
masyhur (hadits mustafidl).
Untuk lebih
jelasnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bila suatu hadits
diriwayatkan oleh hanya seorang shahabat, dan setelah itu baru diriwayatkan
oleh tidak kurang dari tiga rawi pada tingkatan-tingkatan berikutnya, maka
hadits itu tidak dinamakannya hadits gharib, tetapi disebutnya hadits masyhur
(hadits mustafidl). Bila suatu hadits diriwayatkan oleh hanya seorang shahabat,
dan setelah itu diriwayatkan oleh dua orang tabi'in, serta selanjutnya oleh
tidak kurang dari dua orang rawi, maka hadits itu tidak dinamakannya hadits
gharib, tetapi dinamakannya hadits 'aziz. Bila suatu hadits diriwayatkan oleh
hanya seorang shahabat Nabi, kemudian juga oleh seorang tabi'in, dan pada
tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh satu atau lebih dari satu
rawi, maka hadits demikian memang termasuk hadits gharib. Begitulah pendapat
sebagian ulama.
Mengingat
perbedaan pendapat seperti itu, maka sebaiknya kita berusaha mengetahui menurut
pengertian mana, sebutan hadits gharib, hadits 'aziz, dan hadits masyhur
(hadits mustafidl) itu digunakan oleh seseorang dalam suatu pembicaraan. Kita
sebaiknya mengetahui apakah ia menggunakan sebutan hadits masyhur menurut
pengertian hadits yang tersusun sejak tingkatan shahabat Nabi atau hadits yang
masyhur sejak tingkatan tabi'in atau bahkan mungkin sejak tingkatan rawi
sesudah tabi'in. Demikian juga halnya dengan hadits gharib dan hadits 'aziz.
Pendeknya sebaiknya kita mengetahui perbedaan pandangan dalam sesuatu hal,
pandangan mana yang digunakan seseorang dalam pembicaraannya, dan tentu kita
harus bersikap lapang dada (toleran) terhadap pandangan yang tidak kita anut.
Contoh hadits
masyhur (hadits mustafidl) adalah sebagai berikut:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (رواه البخارى ومسلم
والترمذى)
Artinya:
"Rasulullah
saw. bersabda: seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin tidak terganggu
oleh lidah dan tangannya". (HR. Al Bukhari, Muslim, dan At Turmudzi)
Hadits di atas
sejak dari tingkatan pertama (tingkatan shahabat Nabi) sampai ke tingkat
imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini Bukhari, Muslim, dan At
Tumudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
Menyinggung
pendapat sebagian ulama, yang membedakan antara hadits mustafidl dengan hadits
masyhur, menurut pendapat mereka hadits mustafidl adalah hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat
mutawatir, sedangkan hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga
orang rawi, kemudian pada tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh
lebih tiga orang rawi, maka hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang rawi, dan karenanya dimasukkan ke dalam kelompok
hadits masyhur. Bila hadits itu sejak dari tingkatan pertama sampai pada
tingkatan terakhir diriwayatkan oleh para rawi yang tidak kurang dari tiga
orang pada setiap tingkatan, maka hadits itulah yang disebut sebagai hadits
mustafidl. Demikianlah pendapat ulama yang membedakan antara hadits musytafidl
dengan hadits masyhur.
b. Hadits 'aziz
Pengertian 'aziz
menurut bahasa artinya yang mulia atau yang jarang. Adapun menurut istilah
hadits 'aziz adalah:
مَا رَوَاهُ اثْنَانِ
وَلَوْ كَانَ فِى طَبَقَةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَ ذَلِكَ جَمَاعَةٌ
Artinya:
"Yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun yang dua orang itu hanya
terdapat pada satu tingkatan, setelah itu kemudian diriwayatkan oleh orang
banyak".
Berdasarkan
batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkatan pertama
diriwayatkan oleh dua orang rawi dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari
dua rawi, maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan
oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits 'aziz.
Contoh hadits
'aziz antara lain:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ:
نَحْنُ اْلآخِرُوْنَ (فِى الدُّنْيَا) اَلسَّابِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الحديفة وابو هريرة)
Artinya:
"Rasulullah
saw. bersabda: Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang
paling terdahulu di hari qiyamat". (HR. Hudzaifah dan Abu Hurirah)
Hudzaifah dan Abu
Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadits tersebut adalah dua orang
shahabat Nabi. Walaupun pada tingkat selanjutnya hadits itu diriwayatkan oleh
lebih dari dua orang, namun hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits 'aziz.
Tidaklah setiap
hadits yang termasuk hadits 'aziz mempunyai derajat yang kuat, namun penamaan
hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi sebagai hadits 'aziz (yang secara
harfiah berarti hadits yang kuat atau yang mulia), boleh jadi didasarkan pada
anggapan pokok bahwa hadits yang diriwayatkan oleh dua orang adalah kuat,
dibanding dengan hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang rawi. Boleh
jadi pula karena hadits demikian memang jarang adanya.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م: لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
"Rasulullah
saw. bersabda: Tidaklah sempurna keimanan seseorang daripadamu sehingga aku
(Nabi) lebih dicintainya daripada ia mencintai orang tuanya, anak, dan manusia
seluruhnya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadits di
atas, jumlah perawi pada thabaqah pertama hanya 1 orang, thabaqah kedua
sebanyak 2 orang, sedangkan thabaqah ketiga sebanyak 4 orang. Perhatikan
skema berikut ini!
c. Hadits gharib
Gharib menurut
bahasa berarti jauh atau menyendiri dari yang lain. Hadits gharib menurut
bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
اَلْحَدِيْثُ الْغَرِيْبُ
هُوَ الْحَدِيْثَ الَّذِيْ اَنْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيِّ
مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
Artinya:
"Hadits
gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada
tingkatan manapun dalam sanad".
Berdasarkan
batasan tersebut, maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan oleh seorang
shahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi,
hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits gharib.
Contoh hadits
gharib antara lain:
عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ
يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ, وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى (رواه بخارى ومسلم وغيرهما)
Artinya:
"Dari Umar
bin Khaththab berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Amal perbuatan
itu hanya dinilai menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang
diniatkannya". (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain)
Kendati hadits di
atas diriwayatkan oleh banyak imam hadits, termasuk Bukhari dan Muslim, namun
hadits tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang shahabat
Nabi yaitu Umar bin Khaththab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh
satu orang tabi'in yaitu Al Qamah. Dengan demikian hadits itu dipandang sebagai
hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadits gharib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar