Minggu, 14 Juni 2015

Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Bilangan Para Perawinya



PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI SEGI BILANGAN PARA PERAWINYA


Hadits-hadits Rasulullah saw. yang sampai kepada kita sekarang ini, tidak terlepas dari peran serta para perawi hadits. Kita menerima hadits tidak secara langsung mendengar atau melihat sendiri dari Rasulullah saw. melainkan hanya dengan perantaraan para perawi yang memberitakannya. Jumlah para perawi untuk setiap hadits berbeda-beda. Ada hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya banyak, dan ada pula hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu atau dua orang perawi saja. Keadaan ini nantinya akan membawa pengaruh terhadap mutu dan kedudukan hadits tersebut.
Oleh karena itu, perlu kita ketahui macam-macam hadits dilihat dari segi jumlah bilangan para perawi hadits. Para ulama ahli hadits telah membagi hadits dari segi bilangan perawi ke dalam dua bagian. Pertama, hadits mutawatir, kedua hadits ahad, yang terdiri dari hadits masyhur, hadits gharib, dan hadits 'aziz.
 

Hadits Mutawatir


1.  Pengertian Hadits Mutawatir
Pengertian mutawatir dari segi bahasa adalah yang datang kemudian, beriringan tanpa terhalang oleh yang lain. Adapun pengertian mutawatir menurut istilah adalah:
هُوَ خَبَرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يَجِبُ فِى الْعَادَةِ اِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى الْكَذِبِ


Artinya:
"Yaitu suatu hadits yang diperoleh melalui hasil tanggapan panca indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat kebisaaan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta".

2.  Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka suatu hadits baru dapat digolongkan mutawatir apabila memiliki persyaratan sebagai berikut:
a.       Periwayatan atau pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca inderanya sendiri, bukan dugaan atau renungan.
b.      Jumlah perawi hadits tersebut harus mencapai suatu jumlah yang tidak mungkin mereka sepakat berdusta. Jumlah yang tidak mungkin berdusta itu paling sedikit 6 orang, bahkan ada pula yang mengatakan harus mencapai 40 orang.
c.       Jumlah bilangan perawi dalam setiap tingkatan (thabaqat) yang menyampaikan  hadits harus seimbang. Yakni jumlah perawi tingkatan pertama dan berikutnya harus seimbang/sama atau lebih besar.
 
3.  Penjelasan Syarat
a.       Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indera. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Kalau pewartaan itu hasil pemikiran semata-mata atau hasil rangkuman dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain atau hasil istimbat dari satu dalil dengan dalil yang lain, bukan berita mutawatir. Misalnya pewartaan orang banyak tentang ke-baharu-an alam semesta yang berpijak kepada dalil aqli, bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda baharu (yang diciptakan oleh pendipta). Oleh karena alam semesta ini bisa rusak, sudah barang tentu ia benda baharu. Demikian juga pewartaan ahli filsafat tentang ke-Esa-an Tuhan menurut teori filsafatnya bukan merupakan berita mutawatir.
b.      Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka sepakat bohong. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan yang diperlukan atau tidak memungkinkan bersepakat dusta.
1)     Abu't Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk memberi vonis kepada terdakwa.
2)     Asy Habusy Syafi'i menentukan minimal 5 orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
3)     Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam surat Al Anfal ayat 65, tentang sugesti Tuhan kepada orang-orang mu'min yang tahan uji, yaitu hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir sejumlah 200 orang.
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَابِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِ (الانفال: 65)
Artinya:
"Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh."

4)     Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah:
يَآاَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (الانفال: 64)
Artinya:
"Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mu'min yang mengikutimu (menjadi penolongmu)".

Keadaan orang-orang mu'min pada waktu itu baru 40 orang. Jumlah sekian itulah yang merupakan jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan.

Jumlah rawi-rawi sebagaimana yang telah mereka tentukan batas minimalnya itu, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karena alasan yang mereka kemukakan untuk mempertahankan pendapatnya menyimpang dari inti pokok persoalannya. Sebab persoalan prinsip yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah rawi-rawi tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur kepada tercapainya ilmu dlaruri. Walaupun jumlah rawi-rawi itu tidak banyak sekalipun, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar-benar meyakinkan, maka hadits itu sudah dapat dimasukkan ke dalam golongan hadits mutawatir.

c.       Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, jika suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh orang shahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi'i dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi'it-tabi'in, bukan tergolong hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua, dan ketiga.

4.  Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama telah membagi hadits mutawatir kepada tiga bagian, yaitu hadits mutawatir lafdzi, hadits mutawatir maknawi, dan hadits mutawatir 'amali.

a.  Hadits mutawatir lafdzi
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama, dan dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula. Juga dipandang sebagai hadits mutawatir lafdzi, hadits mutawatir dengan susunan redaksi yang sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda, tetapi jelas sama makna atau maksudnya) sehingga garis besar dan perincian hadits itu tetap sama.
Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir lafdzi sangat sedikit. Di antara contoh yang diberikan oleh jumhur ulama adalah hadits yang berbunyi:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخارى وغيره)
Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan atas namaku, maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka". (HR. Bukhari dan lain-lain)

Hadits di atas, menurut keterangan Abu Bakar Al Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang shahabat; bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang shahabat Rasul yang meriwayatkan hadits itu dengan redaksi yang sama.
Contoh-contoh lain dari hadits mutawatir lafdzi, menurut jumhur ulama adalah hadits yang menerangkan tentang kefardluan membaca surat Al Fatihah dalam shalat, hadits tentang menyapu kasut atau sepatu pada waktu berwudlu, dan hadits yang melarang kita melakukan shalat di atas kuburan (selain dari shalat jenazah).

b.  Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun redaksi dan perincian maknanya berbeda. Dengan kata lain, hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir lafdzi. Di antara contoh hadits mutawatir maknawi adalah hadits tentang mengangkat tangan pada waktu berdo'a minta hujan. Dijumpai hadits-hadits yang jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh buah dengan redaksi dan perincian maknanya berbeda, namun terkandung makna umum yang sama, yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. mengangkat tangannya pada waktu berdo'a minta hujan.
Tiga di antara hadits-hadits itu berbunyi sebagai berikut:
1)
قَالَ اَنَسٍ أَتَى رَجُلٌ اَعْرَبِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ يَدَيْهِ يَدْعُوْ وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ يَدْعُوْنَ قَالَ أَنَسٌ فَمَا خَرَجْنَا مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى مُطِرْنَا (رواه البخارى)
Artinya:
"Anas berkata: seorang Arab pedesaan (pegunungan) datang dan berkata (kepada Rasulullah): Wahai Rasulullah, telah binasa binatang ternak, keluarga, dan banyak manusia (lantaran dilanda kekeringan), maka Rasulullah mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a (memohon hujan), dan orang-orang pun mengangkat tangan mereka, (ikut) berdo'a bersama Rasulullah, Anas berkata: hujan turun sebelum kami keluar dari masjid". (HR. Bukhari)

2)
مَا رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حَتَّى رُوْىَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ بِشَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ اِلاَّ فِى اْلاِسْتِسْقَاءِ (متفق عليه)
Artinya:
"Rasulullah saw. pada waktu berdo'a tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdo'a memohon hujan". (HR. Muttafaqun 'Alaih)

3)
قَالَ عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابِ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ (رواه الترمذى)
Artinya:
"Umar bin Khaththab berkata: Rasulullah bila telah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdo'a, belum menurunkan keduanya sebelum menyapukan keduanya itu ke mukanya". (HR. Turmudzi)

Ketiga hadits di atas, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, jelas mengandung pengertian umum yang sama, yaitu Rasulullah mengangkat kedua tangannya pada waktu berdo'a.

c.  Hadits Mutawatir 'Amali
Hadits mutawatir 'amali adalah hadits mutawatir yang berhubungan dengan perbuatan Rasulullah saw. yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
C Seperti hadits mutawatir maknawi, jumlah hadits 'amali cukup banyak. Di antara contohnya adalah hadits-hadits yang berkenaan dengan waktu shalat fardlu, jumlah rakaatnya, shalat jenazah, shalat ied, dan kadar zakat harta.
Contoh hadits yang berkenaan dengan waktu shalat fardlu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِىَ اللهُ عَنهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَالَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ, وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَالَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ, وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ, وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ اْلأَوْسَطِ, وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ, فَإِذَا طَلَعَةِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلاَةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنِى الشَّيْطَانِ (رواه مسلم)
Artinya:
"Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Al 'Ash r.a. bahwasannya Rasulullah pernah bersabda: Waktu Zhuhur adalah apabila matahari telah condong sedikit ke barat hingga bayangan seseorang menyamai panjang orangnya, selama ashar belum tiba, waktu Ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu Maghrib adalah selama mega merah belum menghilang, waktu Isya adalah hingga separoh malam yang tengah, dan waktu Subuh adalah sejak terbit fajar selama matahari belum terbit. Apabila matahari telah terbit, maka janganlah kamu lakukan shalat, karena matahari itu muncul di antara dua tanduk setan". (HR. Muslim)
5.  Kedudukan Hadits Mutawatir
Seperti telah disinggung di atas, hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath'i atau maqthu') berasal dari Rasulullah. Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan 'ilmu qath'i (pengetahuan yang pasti, yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan, atau taqrir (persetujuan) yang diberitakan dalam hadits-hadits itu, sungguh-sungguh perkataan, atau persetujuan Rasulullah saw. Para ulama juga menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan 'ilmu dlaruri (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadits itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah saw. sehingga dapat dipastikan kebenarannya. Taraf kepastian bahwa hadits mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah saw. adalah penuh, dengan kata lain kepastian itu mencapai taraf seratus persen (100 %).
Oleh karena itu, kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber hukum atau sebagai sumber ajaran Islam sangat tinggi. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama nilainya menolak kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah (Rasulullah). Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadits ahad.

6.  Contoh Hadits Mutawatir Dengan Jumlah Perawinya
a.  مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Menurut Abu Bakar Al Bazzar, hadits di atas diriwayatkan oleh 40 orang shahabat. Ulama lain berpendapat bahwa hadits tersebut diiwayatkan oleh 60 orang shahabat.

b.  اَلرَّفْعُ لِلْيَدَيْنِ فِى الصَّلاَةِ
Diriwayatkan oleh 50 orang shahabat.

c.  اَلشَّفَاعَةُ وَالْحَوْضُ
Diriwayatkan oleh + 50 orang shahabat.

d.  اَلْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِى الْوُضُوْءِ
Diriwayatkan oleh 40 orang shahabat.

e.  نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ ...
Diriwayatkan oleh 30 orang shahabat.

f.   نَزَلَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ اَحْرُفٍ
Diriwayatkan oleh 27 orang shahabat.



 Hadits Ahad

1.  Pengertian Hadits Ahad
Ahad (baca: aahaad), menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad. Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya berarti satu-satu. Hadits ahad menurut bahasa berarti hadits satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadits mutawatir maka pengertian hadits ahad menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh sebab itu, baiklah kita lihat batasan-batasan yang diberikan oleh para ulama. Batasan hadits ahad antara lain berbunyi:
اَلْحَدِيْثُ اْلاَحَدُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِىْ لَمْ يَبْلُغْ رُوَاتُهُ مَبْلَغَ الْحَدِيْثَ الْمُتَوَاتِرِ, سَوَاءٌ كَانَ الرَّاوِى وَاحِدًا اَوِاثْنَيْنِ اَوْ ثَلاَثَةً اَوْ اَرْبَعَةً اَوْ خَمْسَةً إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ اْلاَعْدَادِ الَّتِى لاَتُشْعِرَ بِاَنَّ الْحَدِيْثَ دَخَلَ بِهَا فِى خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ
Artinya:
"Hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadits mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadits mutawatir".

Singkatnya, dapat dikatakan bahwa hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Ingatlah kembali tiga syarat hadits mutawatir, sebagaimana tercantum pada bagian terdahulu. Bila suatu hadits tidak memenuhi syarat hadits mutawatir, maka hadits itu masuk ke dalam kelompok hadits ahad. Baiklah kita kemukakan kembali salah satu syarat hadits mutawatir, yang berkenaan dengan jumlah rawi. Seperti telah kita ketahui, ada ulama yang berpendapat bahwa paling sedikit jumlah rawi hadits mutawatir adalah sepuluh orang. Dengan demikian menurut pendapat tersebut, hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga, empat atau bahkan oleh sembilan orang rawi dimasukkan ke dalam kelompok hadits ahad. Menurut pendapat yang lain, hadits mutawatir haruslah diriwayatkan oleh paling sedikit dua puluh orang rawi, sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh sembilan belas orang rawi dimasukkan ke dalam kelompok hadits ahad. Masih ada beberapa pendapat yang lain, seperti pendapat bahwa jumlah minimal rawi hadits mutawatir haruslah empat puluh orang rawi; bila pendapat ini diikuti, maka hadits yang diriwayatkan oleh tiga puluh sembilan rawi tentu masuk ke dalam kelompok hadits ahad. Kendati para ulama berbeda pedapat tentang batas minimal jumlah rawi hadits mutawatir, atau batas maksimal hadits ahad, namun mereka sepakat bahwa jumlah rawi hadits ahad lebih sedikit dibanding  jumlah rawi hadits mutawatir.



2.  Kedudukan Hadits Ahad
Bila hadits mutawatir dapat dipastikan seluruhnya berasal dari Rasulullah saw. maka tidak demikian halnya hadits ahad. Hadits ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah saw. tetapi diduga (dzanni atau madznun) berasal dari beliau.
Dengan kata lain hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah saw. dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Taraf dugaan terhadap hadits-hadits yang termasuk hadits ahad tidaklah sama. Taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah saw. tidak sama. Ada hadits yang sangat besar taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah saw. ada pula hadits yang sangat kecil taraf kemungkinannya berasal dari beliau, dengan kata lain, sangat kecil dugaan bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah. Di samping itu ada juga hadits yang taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah sama besarnya dengan taraf kemungkinannya tidak berasal dari beliau; dengan kata lain sama besarnya taraf dugaan bahwa hadits itu berasal dari beliau dengan taraf dugaan bahwa hadits itu tidak berasal dari beliau.
Karenanya, hadits ahad tidak dapat dipastikan (ghairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (dzanni atau madznun) berasal dari Rasulullah saw., maka kedudukan hadits ahad sebagai sumber hukum Islam atau sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadits mutawatir. Ini berarti bahwa jika suatu hadits yang termasuk kelompok hadits ahad bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak dan dipandang sebagai hadits yang tidak berasal dari Rasulullah saw.
Bila diperinci lebih lanjut, kedudukan hadits ahad itu berbeda-beda, sejalan dengan perbedaan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah saw. Sebagian hadits-hadits tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadits yang lain, kendati semuanya sama-sama termasuk hadits ahad. Hadits-hadits ahad itu ada yang dinilai shahih, hasan, dan ada pula yang dinilai dla'if. Kedudukan hadits shahih lebih tinggi dari kedudukan hadits hasan dan kedudukan hadits hasan lebih tinggi dari kedudukan hadits dla'if (hadits shahih, hasan dan dla'if akan dibicarakan secara khusus pada bab kedua).
Demikianlah kedudukan hadits ahad yang secara umum, berada di bawah kedudukan hadits mutawatir dan secara terperinci mempunyai kedudukan yang berbeda-beda.

3.  Perbedaan Hadits Ahad dengan Hadits Mutawatir
Dari uraian-uraian terdahulu, cukup jelas bahwa hadits ahad berbeda dengan hadits mutawatir. Perbedaan keduanya dapat ditegaskan sebagai berikut:
a.       Dari segi jumlah rawi, hadits mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebisaaan mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadits ahad diriwayatkan oleh rawi atau para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebisaaan masih memungkinkan dia atau mereka untuk sepakat berdusta.
b.      Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadits mutawatir menghasilkan ilmu qath'i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu dlaruri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadits itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah saw. sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadits ahad menghasilkan ilmu dzanni (pengetahuan yang bersifat dugaan) bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw. sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c.       Dari segi kedudukan, hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadits ahad. Sedangkan kedudukan hadits ahad sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadits mutawatir.
d.      Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadits mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur'an, sedangkan keterangan matan hadits ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur'an. Bila dijumpai hadits-hadits dalam kelompok hadits ahad, yang keterangan matannya bertentangan dengan keterangan ayat Al Qur'an, maka hadits-hadits itu ditetapkan secara pasti sebagai hadits-hadits yang tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al Qur'an.

4.  Pembagian Hadits Ahad
Dilihat dari segi jumlah rawi atau jumlah sanad suatu hadits, maka para ulama membagi hadits ahad menjadi tiga bagian, yaitu hadits masyhur (hadits mustafidz), hadits 'aziz, dan hadits gharib. Sebagaimana pernah disinggung pada bagian terdahulu, ada juga ulama yang tidak menyamakan hadits masyhur dengan hadits mustafidl. Dengan demikian ulama tersebut membagi hadits ahad menjadi empat kelompok, yaitu hadits mustafidz, hadits masyhur, hadits 'aziz, dan hadits gharib.

a.  Hadits masyhur (hadits mustafidl)
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidl menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa, hadits masyhur dan hadits mustafidl sama-sama berarti hadits yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa, para ulama juga memandang hadits masyhur dan hadits mustafidl sama dalam pengertian ilmu hadits, atau dengan kata lain keduanya diberi batasan yang sama, yaitu:
اَلْحَدِيْثُ الْمَشْهُوْرُ (اَوِالْحَدِيْثِ الْمُسْتَفِضْ) هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِىْ رَوَاهُ الثَّلاَثَةُ فَأَكْثَرُ وَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ
Artinya:
"Hadits masyhur (hadits mustafidl) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat hadits mutawatir".

Berdasarkan batasan di atas, jumlah rawi hadits masyhur (hadits mustafidl) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga, maka jumlahnya itu belum mencapai jumlah rawi hadits mutawatir. Bila sebuah hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan kemudian pada tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, maka hadits tersebut berdasarkan batasan di atas belum mencapai derajat hadits masyhur (hadits mustafidl).
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bila suatu hadits diriwayatkan oleh hanya seorang shahabat, dan setelah itu baru diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi pada tingkatan-tingkatan berikutnya, maka hadits itu tidak dinamakannya hadits gharib, tetapi disebutnya hadits masyhur (hadits mustafidl). Bila suatu hadits diriwayatkan oleh hanya seorang shahabat, dan setelah itu diriwayatkan oleh dua orang tabi'in, serta selanjutnya oleh tidak kurang dari dua orang rawi, maka hadits itu tidak dinamakannya hadits gharib, tetapi dinamakannya hadits 'aziz. Bila suatu hadits diriwayatkan oleh hanya seorang shahabat Nabi, kemudian juga oleh seorang tabi'in, dan pada tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh satu atau lebih dari satu rawi, maka hadits demikian memang termasuk hadits gharib. Begitulah pendapat sebagian ulama.
Mengingat perbedaan pendapat seperti itu, maka sebaiknya kita berusaha mengetahui menurut pengertian mana, sebutan hadits gharib, hadits 'aziz, dan hadits masyhur (hadits mustafidl) itu digunakan oleh seseorang dalam suatu pembicaraan. Kita sebaiknya mengetahui apakah ia menggunakan sebutan hadits masyhur menurut pengertian hadits yang tersusun sejak tingkatan shahabat Nabi atau hadits yang masyhur sejak tingkatan tabi'in atau bahkan mungkin sejak tingkatan rawi sesudah tabi'in. Demikian juga halnya dengan hadits gharib dan hadits 'aziz. Pendeknya sebaiknya kita mengetahui perbedaan pandangan dalam sesuatu hal, pandangan mana yang digunakan seseorang dalam pembicaraannya, dan tentu kita harus bersikap lapang dada (toleran) terhadap pandangan yang tidak kita anut.
Contoh hadits masyhur (hadits mustafidl) adalah sebagai berikut:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (رواه البخارى ومسلم والترمذى)
Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin tidak terganggu oleh lidah dan tangannya". (HR. Al Bukhari, Muslim, dan At Turmudzi)

Hadits di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan shahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini Bukhari, Muslim, dan At Tumudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
Menyinggung pendapat sebagian ulama, yang membedakan antara hadits mustafidl dengan hadits masyhur, menurut pendapat mereka hadits mustafidl adalah hadits yang diriwayatkan oleh empat orang rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir, sedangkan hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi, kemudian pada tingkatan-tingkatan selanjutnya diriwayatkan oleh lebih tiga orang rawi, maka hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi, dan karenanya dimasukkan ke dalam kelompok hadits masyhur. Bila hadits itu sejak dari tingkatan pertama sampai pada tingkatan terakhir diriwayatkan oleh para rawi yang tidak kurang dari tiga orang pada setiap tingkatan, maka hadits itulah yang disebut sebagai hadits mustafidl. Demikianlah pendapat ulama yang membedakan antara hadits musytafidl dengan hadits masyhur.

b.  Hadits 'aziz
Pengertian 'aziz menurut bahasa artinya yang mulia atau yang jarang. Adapun menurut istilah hadits 'aziz adalah:
مَا رَوَاهُ اثْنَانِ وَلَوْ كَانَ فِى طَبَقَةٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَ ذَلِكَ جَمَاعَةٌ
Artinya:
"Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun yang dua orang itu hanya terdapat pada satu tingkatan, setelah itu kemudian diriwayatkan oleh orang banyak".

Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang rawi dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi, maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits 'aziz.
Contoh hadits 'aziz antara lain:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: نَحْنُ اْلآخِرُوْنَ (فِى الدُّنْيَا) اَلسَّابِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الحديفة وابو هريرة)
Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiyamat". (HR. Hudzaifah dan Abu Hurirah)

Hudzaifah dan Abu Hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadits tersebut adalah dua orang shahabat Nabi. Walaupun pada tingkat selanjutnya hadits itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang, namun hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits 'aziz.
Tidaklah setiap hadits yang termasuk hadits 'aziz mempunyai derajat yang kuat, namun penamaan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi sebagai hadits 'aziz (yang secara harfiah berarti hadits yang kuat atau yang mulia), boleh jadi didasarkan pada anggapan pokok bahwa hadits yang diriwayatkan oleh dua orang adalah kuat, dibanding dengan hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang rawi. Boleh jadi pula karena hadits demikian memang jarang adanya.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م: لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah sempurna keimanan seseorang daripadamu sehingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada ia mencintai orang tuanya, anak, dan manusia seluruhnya". (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada hadits di atas, jumlah perawi pada thabaqah pertama hanya 1 orang, thabaqah kedua sebanyak 2 orang, sedangkan thabaqah ketiga sebanyak 4 orang. Perhatikan skema berikut ini!





c.  Hadits gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh atau menyendiri dari yang lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
اَلْحَدِيْثُ الْغَرِيْبُ هُوَ الْحَدِيْثَ الَّذِيْ اَنْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
Artinya:
"Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad".

Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan oleh seorang shahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadits tersebut tetap dipandang sebagai hadits gharib.



Contoh hadits gharib antara lain:
عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ, وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (رواه بخارى ومسلم وغيرهما)
Artinya:
"Dari Umar bin Khaththab berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Amal perbuatan itu hanya dinilai menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya". (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain)

Kendati hadits di atas diriwayatkan oleh banyak imam hadits, termasuk Bukhari dan Muslim, namun hadits tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang shahabat Nabi yaitu Umar bin Khaththab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh satu orang tabi'in yaitu Al Qamah. Dengan demikian hadits itu dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadits gharib.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar