PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI DITERIMA (MAQBUL) DAN DITOLAKNYA
(MARDUD)
Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, bahwa hadits mutawatir adalah wajib diterima dan diamalkan
oleh segenap ummat Islam dan tidak perlu dipersoalkan lagi tentang mutu dan
kedudukannya. Namun sebaliknya hadits ahad yang terdiri dari hadits masyhur,
hadits 'aziz dan hadits gharib masih perlu dipersoalkan di sini. Karena
sebagian dari hadits-hadits ahad tersebut ada yang shahih, hasan dan ada pula
yang dla'if.
Hadits shahih dan
hadits hasan selanjutnya digolongkan ke dalam hadits yang diterima (maqbul),
sedangkan hadits dla'if digolongkan ke dalam hadits yang ditolak (mardud).
A. Hadist Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa
ialah sehat, lawan dari kata saqim yang artinya sakit. Shahih kadang
diartikan benar dan baik, lawan dari kata salah dan batil. Adapun pengertian
shahih menurut istilah ahli hadits adalah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ
مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ
Artinya:
"Suatu
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya, tidak cacat dan tidak berlawanan dengan dalil yang
lebih tinggi".
2. Syarat-Syarat Hadits Shahih
Berdasarkan
definisi hadits shahih di atas, maka suatu hadits dapat dipandang shahih
apabila memenuhi lima
syarat, yaitu
a.
Perawinya harus adil yaitu perawi yang selalu memelihara perbuatan
taat dan menjauhi perbuatan maksiat dan juga selalu menjuhi perbuatan dosa
sekalipun dosa kecil. Ia juga selalu menjaga dirinya dari tingkah laku yang
tidak sopan seperti kata-kata keji, kencing di muka umum sambil berdiri dan
lain sebagainya.
b.
Perawinya harus sempurna ingatannya (dlabit), yaitu bahwa daya
ingatannya sangat tajam. Ia lebih banyak ingat daripada lupa, dan kebenarannya
lebih banyak daripada salahnya.
c.
Rangkaian perawi/sanad tidak terputus-putus. Yaitu bahwa setiap
perawi harus saling bertemu dan menerima langsung dari gurunya yang memberikan
hadits itu.
d.
Tidak mempunyai cacat. Yaitu suatu penyakit yang samar-samar yang
dapat menodai keshahihan suatu hadits.
e.
Tidak mempunyai kejanggalan, yaitu isi kandungan hadits tersebut
tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, yakni Al Qur'an dan hadits
mutawatir.
3. Pembagian Hadits Shahih
Hadits shahih
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadits shahih lidzatih (hadits shahih
karena dirinya) dan hadits shahih lighairih (hadits shahih yang bukan karena
dirinya).
a. Hadits shahih li dzatih
Hadits shahih li
dzatih adalah hadits yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadits shahih,
seperti yang sudah dikemukakan di atas. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ يُوْسُفَ
اَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِاللهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذَا كَانُوْا ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَتَاجَى
اِثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ (رواه البخارى)
Artinya:
"Bukhari
berkata: Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, lalu berkata: Malik
dari Nafi' dari Abdullah mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah saw.
bersabda: apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta
orang ketiga". (HR. Bukhari)
Hadits di atas
diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf menerimanya
dari Malik. Malik menerimanya dari Nafi. Nafi' menerimanya dari Abdullah, dan
Abdullah itu adalah shahabat Rasulullah saw. yang mendengar beliau bersabda,
seperti hadits di atas. Semua nama-nama tersebut mulai dari Bukhari sampai
Abdullah (shahabat Nabi) adalah rawi-rawi yang adil, dlabith, dan benar
bersambung, tidak cacat, baik pada sanad, maupun pada matan. Dengan demikian
hadits di atas termasuk hadits shahih li dzatih.
b. Hadits shahih li ghairih
Hadits shahih li
ghairih adalah hadits di bawah tingkatan shahih yang menjadi hadits shahih
karena diperkuat oleh hadits-hadits lain. Sekiranya hadits lain yang memperkuat
itu tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatan hadits hasan.
Hadits shahih li ghairih (hadits shahih yang bukan karena dirinya sendiri, tapi
karena diperkuat oleh hadits yang lain) pada hakekatnya adalah hadits hasan li
dzatih (hadits hasan karena dirinya sendiri). Supaya lebih jelas, perhatikan
hadits berikut!
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْلاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى َلاَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه البخارى والترمذى)
Artinya:
"Dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Sekiranya aku tidak menyusahkan
ummatku, tentu aku menyuruh mereka menyikat gigi menjelang setiap shalat".
(HR. Bukhari dan At Turmudzi)
Perlu diketahui
lebih dahulu bila suatu hadits diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadits itu dihitung
bukan sebagai satu hadits, tetapi lima
hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh empat buah sanad, dihitung sebagai empat
hadits bukan satu hadits. Jadi, hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dengan sanad tersendiri dan Imam At Turmudzi dengan sanad tersendiri
pula, dihitung sebagai dua hadits. Pertama adalah hadits Bukhari yang dinilai
sebagai hadits shahih li dzatih; dan kedua adalah hadits Turmudzi, yang dinilai
sebagai hadits hasan li dzatih. Hadits Turmudzi itu karena diperkuat oleh
hadits Bukhari, naik tingkatannya menjadi hadits shahih li ghairih.
4. Kedudukan Hadits Shahih
Kedudukan hadits
shahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadits hasan dan
hadits dla'if, tetapi berada di bawah kedudukan hadits mutawatir. Karena itu
hadits mutawatir sering disebut sebagai hadits shahih mutawatir, maka dapat
pula dikatakan bahwa hadits shahih ahad lebih tinggi kedudukannya dari hadits
hasan dan hadits dla'if, tetapi lebih rendah dari kedudukan hadits mutawatir.
Hadits shahih
mutawatir adalah hadits yang pasti shahih (benar) berasal dari Rasulullah.
Hadits shahih ahad tidaklah pasti, tetapi dekat kepada kepastian. Hadits shahih
'aziz lebih dekat kepada kepastian dibanding dengan hadits shahih gharib, dan
hadits shahih masyhur (mustafidl) paling dekat kepada kepastian benarnya bahwa
hadits itu berasal dari Rasulullah saw.
Selain perincian
di atas, ada pula penentuan urutan tingkat (martabat) hadits shahih sebagai
berikut:
a.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
b.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri.
c.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
d.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai
syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim (berarti rawi-rawinya
terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
e.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai
syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
f.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai
syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
g.
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang
(mu'tabar).
Semua ulama
sepakat menerima hadits shahih mutawatir sebagai sumber ajaran Islam atau
sebagai hujjah, baik dalam bidang hukum, akhlak, maupun dalam bidang aqidah.
Siapa yang menolak hadits shahih mutawatir dipandang kafir. Semua ulama juga
sepakat menerima hadits shahih ahad sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah
dalam bidang hukum dan moral, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
kehujjahannya dalam bidang aqidah. Sebagian ulama menolak kehujjahan hadits
shahih ahad dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak
mengkafirkan mereka yang menolak.
5. Martabat Hadits Shahih
Kekuatan hadits
shahih itu kurang lebih mengingat sifat kedlabitan dan keadilan rawinya. Hadits
shahih yang paling tinggi derajatnya ialah hadits yang bersanad ashahhul-asanid,
kemudian berturut-turut sebagai berikut:
a.
Hadits yang muttafaqun 'alaih atau muttafaqun 'alaih
shihhatihi. Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua imam
hadits Bukhari dan Muslim tentang sanadnya.
Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa kesepakatan antara kedua
Imam Bukhari dan Muslim itu maksudnya adalah persesuaian keduanya dalam men-takhrij-kan
asal hadits dari shahabi, kendatipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam gaya bahasa (siyaqul
kalam)nya. Misalnya hadits Bukhari yang bersanadkan Isma'il, Malik, Tsaur
bin Zaid, Abil Ghais, dan Abu Hurairah r.a.:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: اَلسَّاعِىُّ عَلَى اْلاَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِى
سَبِيْلِ اللهِ اَوْ كَالَّذِى يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ
Artinya:
"Orang-orang
yang memelihara janda dan orang miskin itu, bagaikan pejuang sabilillah atau
bagaikan orang yang berpuasa di siang hari dan bertahajjut di malam hari".
Dengan hadits
Muslim yang bersanadkan 'Abdullah bin Masalamah, Malik, Tsaur bin Zaid, Abil
Ghais, dan Abu Hurairah:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: اَلسَّاعِىُّ عَلَى اْلاَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِى
سَبِيْلِ اللهِ وَاَحْسِبُهُ كَالْقَائِمِ لاَيَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَيُفْطِرُ
Artinya:
"Orang yang
memelihara janda dan orang miskin itu bagaikan orang yang tiada henti-hentinya
bertahajjut di malam hari dan bagaikan orang yang berpuasa tiada
berbuka-buka".
Walaupun kedua hadits Bukhari dan Muslim tersebut mempunyai sanad dan gaya bahasa yang berbeda, namun karena
shahabat yang menjadi rawi pertama adalah orang yang sama, tetap dikatakan muttafaqun
'alaih.
Berbeda dengan hadits Bukhari yang bersanadkan 'Abdullah bin
Shalih, Yahya, Sa'id, 'Amrah dan 'Aisyah r.a. yang mengabarkan bahwa 'Aisyah
mendengar Rasulullah saw. bersabda:
قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اَ,ْلاَرْوَاحُ جُنُوْدٌ
مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا اِئْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا
اِخْتَلَفَ
Artinya:
"'Aisyah
berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Jiwa-jiwa itu merupakan
kumpulan jenis, setiap jiwa saling bermesraan dengan jenis yang dikenalinya dan
saling bersengketaan dengan jenis yang tidak dikenalinya (diingkarinya)".
Walaupun Imam Muslim meriwayatkan juga hadits yang semakna dengan
hadits tersebut, namun tidak lazim dikatakan dengan muttafaqun 'alaih,
lantaran Imam Muslim men-takhrij-kan hadits yang semisal itu dari
shahabat Abu Hurairah, bukan dari 'Aisyah r.a.
Istilah muttafaqun 'alaih, bukan berarti telah mendapat
persetujuan dari seluruh ummat, hingga harus diterima bulat-bulat. Namun
demikian, menurut Ibnu-sh Shalah bahwa hadits yang telah disepakati oleh kedua
imam tersebut, harus diterima oleh seluruh ummat Islam, disebabkan sebagian
ummat Islam bisa menerimanya.
Pendapat Ibnu-sh Shalah ini, sungguh dapat dibenarkan, mengingat
kemasyhuran dan kemampuan beliau amat mencakup bidang ilmu hadits, dan beliau
termasuk sponsornya. Demikian juga ketekunan dan ketelitian beliau dalam
mentapis hadits-hadits shahih melebihi ulama lain yang terdahulu dan yang
terkemudian. Oleh karena itulah para Muhadditsin dan ummat Islam, secara
aklamasi menerima pen-tarjih-an Ibnu-sh Shalah, bahwa semua hadits yang
diriwayatkan (di-tarjih-kan) oleh kedua imam hadits tersebut, menurut
globalnya adalah ashahhush shihhah.
b.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri, sedang Imam
Muslim tidak meriwayatkannya.
Para Muhadditsin menamainya dengan infarada bihil Bukhari.
Misalnya hadits:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نِعْمَتَانِ
مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Artinya:
"Dari
Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah saw: Dua buah kenikmatan yang
sangat besar dan harus dibelinya dengan harga yang tinggi oleh kebanyakan
orang, ialah kesehatan dan kelimpahan waktu untuk taat kepada Tuhan". (HR.
Bukhari)
Walaupun Imam At Turmudzi dan Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan
hadits tersebut dalam kitab sunannya, namun karena Imam Muslim tidak
meriwayatkannya tetap dikatakan infarada bihil Bukhari.
c.
Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri sedang
Imam Bukhari tidak meriwayatkannya. Para Muhadditsin menamainya dengan infarada
bihi Muslim. Misalnya hadits:
عَنْ اَبِى رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ اَوْسٍ
الدَّارِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَلَ: اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ.
قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ: ِللهِ
وَلِكِتَابِهِ وَرَسُوْلِهِ وَ ِلأَئِمَّتِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ (رواه مسلم)
Artinya:
"Dari Abi
Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dary r.a. berkata: Bahwasannya Nabi Muhammad saw.
bersabda: Agama itu nasihat. Kami bertanya: Untuk siapa? Rasul menjawab: Untuk
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan segenap kaum
muslimin".
Para imam hadits, seperti Ahmad, Abu Dawud, At Tumudzi, An Nasa'i,
Ibnu Majah, Asy Syafi'i, dan Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits tersebut,
hanya Imam Bukhari saja yang tidak meriwayatkannya. Karena itu, hadits tersebut
masih lazim dikatakan infarada bihi Muslim, jika dinisbatkan kepada dua
imam hadits Bukhari dan Muslim.
d.
Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat yang dipakai
oleh Bukhari dan Muslim, yang disebut shahihun 'ala syarthi'l Bukhari wa
Muslim, sedang kedua imam tersebut tidak meriwayatkannya.
Yang dimasud dengan istilah menurut syarat-syarat Bukhari dan
Muslim ialah bahwa rawi-rawi yang dikemukakan itu terdapat di dalam kedua kitab
shahih Bukhari dan Muslim.
Demikian juga halnya, kalau dikatakan shahihun 'ala syarthil
Bukhari atau syarthi Muslim, artinya rawi-rawi yang menjadi sanad
hadits yang di-takhrij-kan tersebut terdapat di dalam shahih Bukhari
atau shahih Muslim. Para Muhadditsin yang berpendapat demikian antara lain Ibnu
Daqiqil 'Id, An Nawawi, dan Adz Dzahabi.
Contoh hadits shahih yang menurut syarat kedua Imam Bukhari dan
Muslim adalah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَتْ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّ مِنْ اَكْمَلِ الْمُؤْمِنِيْنَ
اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَاَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِمْ (رَوَاهُ التِّرْمِذِىُّ
وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطِى الْبُخَارِى وَمُسْلِمٍ)
Artinya:
"Dari
'Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Termasuk penyempurnaan iman
seorang mu'min ialah keluhuran budi pekertinya dan kelemah lembutan terhadap
keluarga". (Riwayat At Turmudzi dan Hakim dan ia berkata bahwa hadits ini
syarat Bukhari dan Muslim)
e.
Hadits shahih yang menurut syarat Bukhari, sedang beliau sendiri
tidak men-takhrij-kannya. Hadits yang demikian ini, disebut dengan shahihun
'ala syarthil Bukhari.
f.
Hadits yang menurut syarat Muslim, sedang Imam Muslim sendiri
tidak men-takhrij-kannya. Hadits yang demikian ini dikenal dengan nama shahihun
'ala syarthil Muslim.
g.
Hadits shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam
Bukhari dan Muslim. Ini berarti bahwa si pen-takhrij tidak mengambil
hadits dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim, yang telah beliau
sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan tetapi hadits yang di-takhrij-kan
tersebut dishahihkan oleh imam-imam hadits yang kenamaan. Misalnya
hadits-hadits shahih yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Hibban, dan Shahih Al Hakim.
Faedah pembagian
derajat-derajat hadits tersebut adalah untuk men-tarjih-kan bila
ternyata terdapat ta'arudl (perlawanan) satu sama lain. Pen-tarjih-an
di sini maksudnya ialah pen-tarjih-an menurut globalnya (keseluruhan),
bukan pen-tarjih-an kesatuan hadits dengan kesatuan hadits lain. Yakni
hadits yang dinilai dengan muttafaqun 'alaih adalah lebih rajih
dan mempunyai derajad yang lebih tinggi dari infarada bihil Bukhari.
Hadits yang di-takhrij-kan oleh Imam Bukhari sendiri mempunyai derajad
yang lebih tinggi daripada hadits yang hanya di-takhrij-kan oleh Imam
Muslim sendiri (infarada bihil Muslim) dan seterusnya menurut tertib
tersebut di atas. Yang demikian itu andai kata terdapat perlawanan satu sama
lain.
Tetapi kalau
dilihat dari nilai kesatuannya (satu per satunya), ada kemungkinan kita
mendapati sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, misalnya sebuah
hadits disamping diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim; akan tetapi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mempunyai
beberapa sanad sedang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari hanya mempunyai satu
sanad. Jadi, hadits Imam Muslim dalam perumpamaan ini, lebih rajih
daripada hadits Imam Bukhari. Demikian juga jika hadits yang diriwayatkan oleh
Imam selain Imam Bukhari dan Muslim itu mempunyai sanad yang ashahhul asanid
niscaya lebih rajih daripada hadits muttafaqun 'alaih yang tidak ashahhul
asanid.
Hadits shahih
yang paling tinggi tingkatannya ialah perawinya terdiri dari Bukhari dan Muslim
(muttafaqun 'alaih), kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
saja, oleh Muslim saja, dan sebagainya.
Kedudukan hadits
shahih sungguh pun demikian tetap berada di bawah derajad hadits mutawatir.
Sebab setiap hadits mutawatir sudah pasti shahih, sedangkan tidak setiap hadits
shahih itu mutawatir.
B. Hadits Hasan
1. Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa
hasan artinya baik atas segala sesuatu yang diingini, yang dirindui dan
disenangi oleh keinginan hawa nafsu. Sedangkan menurut istilah hadits hasan
adalah:
مَالاَ يَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلاَ
يَكُوْنُ شَاذًا وَيَرْوِيْهِ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ بِنَحْوِهِ فِى الْمَعْنَى
Artinya:
"Hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh berdusta,
tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari
satu jurusan melainkan mempunyai banyak jalan yang sepadan dengan maknanya".
Menurut definisi lain, hadits hasan ialah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ
مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ
Artinya:
"Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang daya ingatannya, bersambung
sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz".
Dengan demikian
hadits hasan dan hadits shahih hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada hadits
hasan perawinya kurang sempurna ingatannya, sedangkan pada hadits shahih
perawinya terdiri dari orang yang kuat daya ingatannya.
2. Syarat-Syarat Hadits Hasan
Berdasarkan
pengertian di atas, maka hadits hasan harus mempunyai syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
Perawinya orang yang adil.
b.
Perawinya agak kurang daya ingatannya.
c.
Bersambung-sambung sanadnya.
d.
Tidak mempunyai cacat/'illat.
e.
Tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat.
Penjelasan untuk
masing-masing syarat di atas sama dengan penjelasan yang telah diterangkan pada
pembahasan hadits shahih.
3. Pembagian Hadits Hasan
Hadits hasan
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadits hasan li dzatih dan hadits hasan
li ghairih.
a. Hadits hasan li dzatih
Hadits hasan li
dzatih adalah hadits yang memiliki persyaratan hadits hasan tersebut di atas.
Hadits itu menjadi hadits hasan bukan karena diperkuat oleh hadits yang lain,
tapi karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi semua
syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi-rawinya kurang dlabit (kurang
kuat hafalannya).
Di antara
hadits-hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih, sebagian tetap saja pada
tingkatan hadits hasan tersebut, tetapi sebagian lainnya dapat naik pada
tingkatan hadits shahih li ghairih. Bila suatu hadits hasan li dzatih tidak
diperkuat oleh hadits yang lain yang berada pada tingkatan hadits shahih atau
pada tingkatan hadits hasan li dzatih pula, maka hadits tersebut tetap berada
pada tingkatan hadits hasan li dzatih.
Sebaliknya, bila
suatu hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih diperkuat oleh hadits yang
lain (baik berada pada tingkatan hadits shahih maupun pada tingkatan hadits
hasan li dzatih), maka hadits tersebut naik tingkatannya menjadi hadits shahih
li ghairih. Hadits demikian dapat disebut secara lengkap hadits hasan li
dzatih shahih li ghairih (hadits hasan karena dirinya, shahih karena
lainnya), dan juga dapat disebut lebih singkat: hadits hasan shahih.
Hanya saja perlu diketahui bahwa disamping ada ulama yang mengartikan sebutan
hadits hasan shahih dengan hadits hasan
lidzatih shahih li ghairih, ada pula ulama yang mengartikan sebutan tersebut
dengan dua hadits yang sama matannya, tapi hadits yang satu mempunyai sanad
yang hasan, sedangkan hadits yang lain memiliki sanad yang shahih.
Contoh hadits
hasan li dzatih adalah hadits tentang menyikat gigi menjelang shalat, yang
diriwayatkan oleh Turmudzi dari Abu Hurairah (sudah dikemukakan pada pembahasan
hadits shahih li ghairih).
b. Hadits hasan li ghairih
Hadits hasan li
ghairih adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits
hasan, karena ada hadits lain yang menguatkannya. Dengan kata lain, hadits
hasan li ghairih adalah hadits dla'if yang karena dikuatkan oleh hadits lain,
meningkat menjadi hadits hasan.
Hadits dla'if
yang dikuatkan oleh hadits dla'if yang lain bisa menjadi hadits hasan li
ghairih, dan bisa pula tidak naik tingkatannya. Hal ini disebabkan keadaan
hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if beraneka ragam. Hadits dla'if
karena lemahnya hafalan rawi (padahal rawinya dikenal jujur), dapat meningkat
menjadi hadits hasan li ghairih, bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits
lain yang juga diriwayatkan oleh rawi yang lemah hafalannya. Demikian pula
hadits dha'if lain, yang disebabkan oleh tidak disebutkannya rawi tingkatan
shahabat Nabi atau tidak dikenal salah seorang perawinya, dapat meningkat
menjadi hadits hasan li ghairih, bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits
yang lain.
Tidak demikian
halnya dengan hadits dla'if yang disebabkan oleh rawi yang dikenal pendusta
atau dikenal fasik. Hadits dla'if seperti itu, bila dikuatkan oleh hadits lain
yang serupa tidaklah hilang kedla'ifannya (kelemahannya), bahkan bertambah
dla'if (bertambah lemah), jadi tidak bisa meningkat menjadi hadits hasan li
ghairih.
Contoh hadits
hasan li ghairih adalah:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَقًّا عَلَى
الْمُسْلِمِيْنَ اَنْ يَغْتَسِلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ (رواه الترمذى)
Artinya:
"Rasulullah
saw. bersabda: Merupakan hak atas kaum muslim, mandi pada hari jum'at". (HR.
At Turmudzi).
Hadits di atas diterima oleh Turmudzi melalui
dua sanad:
Pertama: dari Ali bin
Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, dari Yazid bin Ziyad, dari
Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua : dari
Ahmad bin Mani', dari Hasyim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi
Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Rawi-rawi dalam
sanad pertama cukup terpercaya, kecuali Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi yang
dianggap lemah hafalannya. Karena itu, hadits yang dirawikan sanad pertama
dipandang sebagai hadits dla'if. Rawi-rawi dalam sanad kedua juga cukup
terpercaya, kecuali Hasyim yang dikenal mudallis (menyembunyikan cacat
suatu hadits). Karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh sanad kedua juga
dipandang sebagai hadits dla'if. Kedua hadits tersebut (karena ada dua sanad
harus dihitung dua hadits) saling meguatkan, oleh sebab itu masing-masing
hadits naik tingkatannya menjadi hadits hasan li ghairih.
4. Kedudukan Hadits Hasan
Para Ulama
sepakat memandang bahwa tingkatan hadits hasan berada sedikit di bawah
tingkatan hadits shahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukannya
sebagai sumber hukum Islam atau sebagai hujjah. Sebagian ulama menolak hadits
hasan sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya
jumhur (mayoritas) ulama memperlakukan hadits hasan seperti hadits shahih,
mereka menerima hadits hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik
dalam bidang hukum, moral maupun dalam bidang aqidah.
C. Hadits Dla’if
1. Pengertian Hadits Dla'if
Hadits dla'if
ialah:
مَا فَقِدَ شَرْطًا اَوْ اَكْثَرَ مِنْ شُرُوْطِ الصَّحِيْحِ اَوِ
الْحَسَنِ
Artinya:
"Ialah
hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih
atau hadits hasan".
Hadits dla'if
banyak macamnya, dan mempunyai perbedaan derajad satu sama lain, hal ini
disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang
tidak dipenuhinya. Hadits dla'if yang disebabkan karena tidak
bersambung-sambung sanadnya dan tidak adil rawinya adalah lebih dla'if dari
pada hadits dla'if yang hanya keguguran satu syarat maqbul (syarat-syarat yang
diterima untuk hadits shahih dan hasan) saja, baik pada sanadnya maupun pada
rawinya. Hadits dla'if yang keguguran tiga syarat maqbul adalah lebih dla'if
daripada hadits dla'if yang keguguran dua syarat.
Al 'Iraqi membagi
hadits dla'if menjadi 42 bagian dan sebagian ulama yang lain, membaginya
menjadi 129 bagian.
2. Klasifikasi Hadits Dla'if Menurut Muhadditsin
Dari segi
diterima atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah, hadits ahad terbagi
menjadi dua bagian, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Yang termasuk hadits
maqbul yaitu hadits shahih dan hadits hasan, sedangkan yang termasuk hadits
mardud yaitu hadits dla'if dengan segala macamnya. Untuk mengetahui
syarat-syarat suatu hadits dapat diterima (maqbul), tidak dapat dipisahkan
dengan pengetahuan tentang sebab-sebab ditolaknya suatu hadits.
Para Muhadditsin
mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan. Yakni dari
jurusan sanad dan jurusan matan.
a. Dari jurusan sanad diperinci menjadi dua
bagian
1)
Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya
maupun hafalannya.
2)
Ketidak bersambung-sambungnya sanad dikarenakan adanya seorang
rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Keterangan:
1) Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi
ada 10 macam:
a)
Dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya dusta disebut hadits
maudlu'.
b)
Tertuduh dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya tertuduh dusta
disebut hadits matruk.
c)
Fasiq.
d)
Banyak salah.
e)
Lengah dalam menghafal. Hadits dla'if yang karena rawinya fasiq,
banyak salah, dan lengah disebut hadits munkar.
f)
Banyak waham (purbasangka). Hadits dla'if yang karena
rawinya waham disebut hadits mu'allal.
g)
Menyalahi riwayat orang kepercayaan. Kalau menyalahi riwayat orang
kepercayaan tersebut karena dengan penambahan suatu sisipan maka hadits ini
disebut hadits mudraj; Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut
dengan memutar balikkan, maka hadits ini disebut hadits maqlub; Kalau menyalahi
riwayat orang kepercayaan tersebut dengan menukar-bukar rawi, maka hadits ini
disebut hadits mudltharib, Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut
dengan merubah syakal – huruf, maka hadits ini disebut hadits muharraf; dan
kalau perubahan itu tentang titik-titik kata, maka hadits ini disebut hadits
mushahhaf.
h)
Tidak diketahui identitasnya (jahalah). Hadits dla'if yang
karena jahalah ini disebut hadits mubham.
i)
Penganut bid'ah. Hadits dla'if yang karena rawinya penganut bid'ah
disebut hadits mardud.
j)
Tidak baik hafalannya. Hadits dla'if yang karena ini disebut
hadits syadz dan mukhtalith.
2) Sebab-sebab tertolaknya
hadits karena sanadnya digugurkan (tidak bersambung)
a)
Kalau yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut
hadits mu'allaq.
b)
Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat) disebut hadits
mursal.
c)
Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih
berturut-turut, disebut hadits mu'dlal.
d)
Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi'.
b. Dari jurusan matan
Hadits dla'if
yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan ialah hadits mauquf dan
hadits maqthu'.
1)
Hadits mauquf
Al mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan
perawi menghentikan sebuah hadits. Hadits mauquf menurut istilah ialah:
مَا اُضِيْفَ اِلَى
الصَّحَابِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ
نَحْوِ ذَلِكَ مُتَّصِلاً كَانَ اَوْ مُنْقَطِعًا
Artinya:
"Segala yang
disandarkan kepada shahabat r.a. baik perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik
bersambung-sambung sanadnya, maupun yang terputus-putus".
Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali yang dihukumi
marfu'. Karena itulah ia dihukumi dla'if, meskipun sanadnya shahih. Di antara
contohnya ialah:
a)
Perkataan Ibnu Mas'ud
اَلْقُلُوْبُ اَوْعِيَّةٌ فَاشْغُلُوْهَا
بِالْقُرْآنِ وَلاَ تَشْغُلُوْهَا بِمَا سَوَاهُ (رواه الخطيب)
Artinya:
"Qalbu-qalbu
itu tempat menyimpan, karena itu penuhilah dia dengan Al Qur'an, dan janganlah
kamu memenuhinya dengan selain Al Qur'an". (HR. Al Khathib)
b)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hibban,
katanya:
كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ حُكَمَاءَ فُقَهَاءَ
عُلَمَاءَ
Artinya:
"Hendaklah
kamu menjadi orang-orang yang rabbani, dapat menahan marah, faqih lagi
'alim".
2)
Hadits maqthu'
Al Maqthu' menurut bahasa berarti yang diputuskan atau yang terputus.
Sedangkan menurut istilah hadits maqthu' yaitu:
مَا اُضِيْفَ اِلَى التَّبِعِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ مِنْ قَوْلٍ
اَوْ فِعْلٍ
Artinya:
"Segala yang
disandarkan kepada tabi'in baik perkataan maupun perbuatannya".
Karena hadits mauquf saja tidak dapat dijadikan hujjah, apalagi
hadits maqthu', tentu lebih tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itulah ia
dihukumi dla'if, meskipun sanadnya shahih. Az Zarkasyi menegaskan, bahwa "perkataan
tabi'i bukan sekali-kali hadits".
Di antara contoh hadits maqthu' ialah:
a)
Perkataan Ad Dlahhak Ibnu Muzahim
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَنٌ تَكْثُرُ فِيْهِ
اْلاَحَادِيْثَ حَتَّى يَبْقَى الْمَصَحُفُ بِغُبَارِهِ لاَيَنْظُرُ فِيْهِ (رواه ابن عبد البر)
Artinya:
Akan datang pada
manusia suatu masa yang di dalamnya hadits-hadits begitu banyak, sehingga
tinggallah mushhaf dengan debunya tidak pernah dilihat". (HR. Ibnu 'Abdil
Bar)
b)
Perkataan Ibnu Syihab Az Zuhry
لَوْ لاَ اَحَادِيْثُ تَأْتِيْنَا مِنْ قِبَلِ
الْمَشْرِقِ نَنْكُرُهَا لاَنَعْرِفُهَا مَا كَتَبْتَ حَدِيْثًا وَلاَ اَذِنْتَ
فِى كِتَابِهِ (رواه الخطيب)
Artinya:
"Kalau
sekiranya tidak ada hadits-hadits yang datang dari timur yang kami ingkari,
yang tidak kami kenal, tentulah kami tidak menulis hadits dan tidak mengizinkan
orang menulisnya". (HR. Al Khathib)
3. Macam-Macam
Hadits Dla'if Berdasarkan Rawi-Rawinya Tercatat Keadilan dan Kedlabitannya
a. Hadits maudlu'
Maudlu' menurut
bahasa artinya sesuatu yang diletakkan. Sedangkan menurut istilah hadits
maudlu' ialah:
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوِرًا وَبُهْتَآنًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ
عَمْدًا اَمْ خَطَأً
Artinya:
"Hadits yang
tercipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan itu dibangsakan
kepada Rasulullah saw. secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja atau
tidak".
Yang dikatakan
dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah saw. ialah mereka yang pernah
berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali dalam seumur hidupnya. Hadits
yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima meskipun mereka telah bertaubat.
Lain halnya dengan periwayatan orang yang pernah bersaksi palsu, jika mereka
telah bertaubat dengan sungguh-sungguh maka riwayatnya dapat diterima.
b. Ciri-ciri hadits maudlu'
Sebagaimana para
ulama menciptakan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan untuk mengetahui
shahih, hasan, atau dla'ifnya suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri
untuk mengetahui ke-maudlu'-an suatu hadits. Mereka menentukan ciri-ciri yang
terdapat pada sanad dan ciri-ciri yang terdapat pada matan hadits.
1) Ciri-ciri yang terdapat pada sanad
a)
Pengakuan dari si pembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru
tasawuf ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al Qur'an
serenta menjawab:
لَمْ يُحَدِّثْنِى اَحَدٌ وَلَكِنَّا رَاَيْنَا
النَّاسَ قَدْ رَغِبُوْا عَنِ الْقُرْآنِ فَوَضَعْنَالَهُمْ هَذَا الْحَدِيْثَ
لِيَصْرِفُوْا قُلُوْبَهُمْ اِلَى الْقُرْآنِ
Artinya:
"Tidak
seorang pun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi serenta kami melihat
manusia-manusia sama membenci Al Qur'an, kami ciptakan untuk mereka hadits ini
(tentang keutamaan ayat-ayat Al Qur'an), agar mereka menaruh perhatian untuk
mencintai Al Qur'an".
Pengakuan seorang
rawi, menurut Ibnu Daqiqil 'Id, belum dapat dipastikan me-maudlu'-kan suatu hadits, karena
mungkin saja si rawi itu berbohong dalam pengakuannya.
b)
Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits
maudlu'.
Misalnya:
Seorang rawi
mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu
dengan guru tersebut. Atau menerima dari seorang guru yang telah meninggal
dunia sebelum ia dilahirkan.
c)
Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
d)
Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim tatkala
ia berkunjung ke rumah Al Mahdi yang tengah bermain dengan burung merpati.
Katanya:
لاَسَبْقَ اِلاَّ فِى نَصْلٍ اَوْ خُفٍّ اَوْ حَافِرٍ اَوْ جَنَاحٍ
Artinya:
"Tidak sah
perlombaan itu selain mengadu anak panah, mangadu onta, mangadu kuda, atau
mengadu burung".
Perkataan اَوْ جَنَاحٍ (mengadu burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri,
dengan spontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud
untuk membesarkan hati atau setidak-tidaknya membenarkan tindakan Al Mahdi yang
sedang melombakan burung. Tingkah laku Ghiyats semacam itu menjadi qarinah
untuk menetapkan ke-maudlu'-an suatu hadits.
2) Ciri-ciri yang terdapat pada matan
Ciri-ciri yang terdapat pada matan dapat ditinjau dari segi makna
dan dari segi lafadznya. Dari segi maknanya, maka makna hadits itu bertentangan
dengan Al Qur'an, hadits mutawatir, ijma', dan bertentangan dengan logika yang
sehat.
a)
Contoh hadits maudlu' yang maknanya bertentangan dengan Al Qur'an
وَلَدُ الزِّنَا لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلَى سَبْعَةِ اَبْنَاءٍ
Artinya:
"Anak zina
itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan".
Makna hadits ini
bertentangan dengan kandungan surat
Al An'am 164:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ اُخْرَى
Artinya:
"Dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain".
Kandungan ayat di
atas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain,
sampai seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
Contoh lain
hadits yang menjelaskan tentang umur dunia:
مِقْدَارُ الدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ وَيَجِئُ فِى اْلاَلْفِ
السَّابِعَةِ
Artinya:
"Umur dunia
itu 7000 tahun dan sekarang datang pada ribuan yang ke-7."
Hadits di atas
adalah sedusta-dustanya hadits. Sebab andaikata hadits itu benar, niscaya orang
sekarang ini tinggal beberapa puluh tahun saja. Padahal Allah telah menjelaskan
bahwa hanya beliau sendiri yang mengetahui kapan datangnya hari qiyamat itu.
Allah berfirman:
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ
مُرْسَاهَا, قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّى لاَ يُجَلِّيْهَا لِوَفْتِهَا
اِلاَّ هُوَ (الاعراف: 187)
Artinya:
"Mereka
menanyakan kepadamu tentang hari qiyamat: bilakah terjadinya? Sesungguhnya
pengetahuan tentang hari qiyamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorang
pun yang dapat menjelaskan kedatangannya sampai hari qiyamat selain dari
Dia". (Q.S. Al A'raf: 187)
b)
Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan hadits mutawatir
ialah hadits yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad.
وَاِنَّ كُلَّ مَنْ يُسَمَّى بِهَذِهِ
اْلاَسْمَاءِ (محمد و احمد) لاَيَدْخُلُ النَّارَ
Artinya:
"Bahwa
setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad dan Ahmad) ini, tidak akan
dimasukkan di neraka".
Hadits di atas
bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah saw. yang menerangkan bahwa neraka
itu tidak dapat ditembus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan
dari neraka itu karena keimanan dan amal shalih.
c)
Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan ijma' ialah
hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah
saw. kepada Ali r.a. untuk menjadi khalifah yang menurut mereka bahwa shahabat
bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut.
اِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَخَذَ بِيَدِ عَلِىٍّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ بِمَحْضَرٍ مِنَ
الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ, وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ, فَاقَامَهُ
بَيْنَهُمْ حَتَّى عَرَفَهُ الْجَمِيْعُ, ثُمَّ قَالَ: هَذَا وَصِىِّ وَاَخِى
وَالْخَلِيْفَةُ بَعْدِى, فَاسْمَعُوا وَاَطِيْعُوا
Artinya:
"Bahwa
Rasulullah saw. memegang tangan Ali bin Abi Thalib r.a. dihadapan para shahabat
seluruhnya yang baru kembali dari haji Wada'. Kemudian Rasulullah membangkitkan
Ali, sehingga para shahabat mengetahui semuanya. Lalu beliau bersabda: Ini
adalah wasiatku (orang yang saya beri wasiat) dan saudaraku, serta khalifah
setelah saya mati. Oleh karena itu, dengarlah dan taatilah".
Hadits di atas
adalah maudlu', karena bertentangan dengan ijma' seluruh ummat, bahwa
Rasulullah saw. tidak menetapkan (menunjuk) seorang pengganti sesudah beliau
meninggal dunia.
Dari segi lafadznya, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik
serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ini ialah susunan kalimat yang sederhana,
tetapi isinya berlebih-lebihan. Kalau ketidak fasihan itu hanya terletak pada
redaksinya saja sedang isinya tidak kacau, menurut pendapat Ibnu Hajar tidak
dapat dipastikan sebagai hadits maudlu', sebab ada kemungkinan bahwa rawi hanya
meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya yang ia susun sendiri kurang
fasih.
Contoh hadits maudlu' dari segi lafadznya, yaitu hadits yang
berisikan pahala yang sangat besar bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil):
a)
لُقْمَةٌ فِى بَطْنِ
جَائِعٍ اَفْضَلُ مِنْ بِنَاءِ اَلْفِ جَامِعٍ
Artinya:
"Sesuap
makanan di perut si lapar labih baik daripada membangun seribu masjid
Jami'".
b)
مَنْ قَالَ لآ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ
الْكَلِمَةِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ
اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
Artinya:
"Barangsiapa
mengucapkan tahlil (la ila ha illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu
seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan dan setiap lisan mempunyai 70.000
bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya".
c. Sumber-sumber yang
diriwayatkan
Para pembuat hadits
maudlu' dalam menjalankan tugasnya kadang-kadang mengambil dari fikiran
sendiri-sendiri dan kadang-kadang menukil dari perkataan orang-orang yang dipandang
'alim pada waktu itu atau perkataan orang 'alim mutaqaddimin.
Misalnya hadits
maudlu' yang dinukil dari perkataan orang-orang mutaqaddimin ialah:
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Artinya:
"Cinta
keduniaan adalah modal kesalahan".
Perkataan di
atas, sesungguhnya adalah perkataan Malik bin Dinar, tetapi oleh pembuat hadits
maudlu' dibangsakan (didakwakan) kepada Nabi Muhammad saw.
d. Motif-motif yang mendorong untuk membuat
hadits maudlu'
Motif-motif yang
mendorong mereka membuat hadits maudlu' dan lingkungan yang menyebabkan
tumbuhnya, antara lain:
1)
Mempertahankan ideologi partainya
(golongannya) sendiri dan menyerang partai lawannya.
Pertentangan politik kekhilafahan yang timbul sejak akhir
kekhilafahan 'Utsman dan awal pemerintahan Ali merupakan penyebab langsung
munculnya hadits-hadits maudlu'. Pada waktu itu timbul partai Syi'ah dan
golongan Mu'awiyah. Setelah Perang Shiffin selesai, timbul pula golongan
Khawarij. Di antara golongan-golongan tersebut, golongan Syi'ah Rafidlahlah
yang paling banyak membuat hadits maudlu'. Imam Syafi'i berkata: "saya
tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta selain kaum Rafidlah".
Mereka membuat hadits maudlu' tentang keutamaan Ali dan Alil bait
(keluarga-keluarganya).
Tentang keutamaan Fatimah, mereka menciptakan hadits:
لَمَّا اَسْرَى
بِالنَّبِىِّ اَتَاهُ جِبْرِيْلُ بِسَفَرْجَلَةِ مِنَ الْجَنَّةِ فَأَكَلَهَا
فَعَلَقَتِ السَّيِّدَةُ خَدِيْجَةُ بِفَاطِمَةَ فَكَانَ اِذَا اشْتَاقَ اِلَى
رَائِحَةِ الْجَنَّةِ شَمَّ فَاطِمَةَ
Artinya:
"Ketika Nabi
Muhammad saw. diisra'kan, Jibril datang memberikan buah Saparjalah (semacam
Apel) dari surga lalu dimakannya. Kemudian Sayyidah Khadijah menghubungkan buah
tersebut dengan Fatimah. Karena itu apabila Rasulullah saw. rindu bau-bauan
surga beliau lalu mencium Fatimah".
Kemaudlu'an hadits di atas sangat jelas. Sebab Fatimah dilahirkan sebelum terjadi peristiwa Isra'
sebagaimana Khadijah meninggal sebelum Isra'.
Di samping golongan Syi'ah membuat hadits-hadits maudlu' untuk
menuju golongan sendiri, mereka juga membuat hadits maudlu' yang isinya untuk
menjelek-jelekkan lawannya. Misalnya, untuk menjelekkan Mu'awiyah mereka
membuat hadits:
اِذَا رَاَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِى فَاقْتُلُوْهُ
Artinya:
"Apabila kamu melihat Mu'awiyah di atas mimbarku,
bunuhlah".
Pengikut golongan lain yang merasa golongannya dihina, segera
membuat hadits maudlu' untuk mengadakan revance atau setidak-tidaknya
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat padanya. Misalnya hadits maudlu'
yang diciptakan oleh golongan yang membenarkan kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan
'Utsman.
مَا فِى الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ اِلاَّ مَكْتُوْبٌ
عَلَى وَرَقَةٍ مِنْهَا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ, اَبُوْ
بَكْرِ نِالصِّدِّيْقُ, عُمَرُ الْفَارُقُ, عُثْمَانُ ذُوالنُّورَيْنِ
Artinya:
"Di surga
tidak ada satu pohon pun, selain pohon yang daunnya ditulis dengan kalimat la
ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq, 'Umar Al Faruq,
dan 'Utsman Dzunnurain".
Golongan Abbasyiyah juga tidak ketinggalan dalam membuat hadits
maudlu' untuk mempertahankan golongannya. Misalnya:
اِنَّ النَّبِيَّ قَالَ
لِلْعَبَّاسِ: اِذَا كَانَ سَنَةُ خَمْسٍ وَثَلاَثِيْنَ وَمِائَةٍ فَهِىَ لَكَ
وَلِوَلَدِكَ السَّفَاحِ وَالْمَنْصُوْرِ وَالْمَهْدِيِّ
Artinya:
"Bahwa Nabi
Muhammad saw. bersabda kepada Al 'Abbas: Bila telah tiba tahun 135 H, maka
tahun itu adalah untukmu dan anak-anakmu, yakni Abul 'Abbas As Safah, An
Manshur, dan Al Mahdi".
Golongan Khawarij walaupun termasuk golongan terkecil dari
golongan Syi'ah juga tidak ketinggalan dalam membuat hadits maudlu'. Ibnu Hatim
mengutip perkataan seorang guru dari golongan Khawarij yang telah taubat,
sebagai berikut:
اِنَّ هَذِهِ اْلاَحَادِيْثَ دِيْنٌ.
فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ فَاِنَّ كُنَّا اِذَا هَوَيْنَا
اَمْرًا صَيَّرْنَاهُ حَدِيْثًا
Artinya:
"Bahwa
hadits-hadits ini adalah suatu agama. Oleh karena itu telitilah dari siapa kamu
mengambil pelajaran agama! Kamu sendiri bila menghendaki sesuatu hal, hal itu kami
rubah (sedemikian rupa) menjadi suatu hadits".
2)
Untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam.
Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Zindiq.
Mereka itu adalah orang-orang yang dongkol hatinya melihat kepesatan tersiarnya
agama Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka sakit hati melihat orang
berbondong-bondong masuk agama Islam. Hal ini terjadi karena Islam menjamin
kemerdekaan berpikir memberikan kemuliaan pribadi dan kebenaran aqidahnya.
Dengan maksud mengeruhkan dan merusak agama Islam, mereka membuat beribu-ribu
hadits maudlu' dalam bidang aqidah, akhlak, pengobatan dan hukum tentang halal
haramnya suatu perbuatan.
Di antara hadits maudlu' yang mereka ciptakan ialah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا عَشِيَّةَ عَرَفَةَ عَلَى
جَمَلٍ اَوْرَقٍ يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ وَيُعَانِقُ الْمُشَاةَ
Artinya:
"Tuhan kami
turun dari langit pada sore hari di 'Arafah dengan kendaraan unta kelabu,
sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk
orang-orang yang berjalan".
Dan hadits
maudlu':
رَأَيْتُ رَبِىّ لَيْسَ بَيْنِى وَبَيْنَهُ حِجَابٌ فَرَأَيْتُ كُلَّ
شَيْءٍ مِنْهُ حَتَّى رَأَيْتُ تَاجًا مُخَوَّصًا مِنَ اللُّؤْلُوءِ
Artinya:
"Aku telah
melihat Tuhanku tanpa hijab antara aku dan Dia. Karena itu kulihat segala
sesuatu hingga kulihat sebuah mahkota yang terhias dari mutiara".
Tokoh-tokoh mereka yang terkenal dalam membuat hadits maudlu'
adalah:
a)
Abdul Karim bin Abil-Auja', yang akhirnya dibunuh oleh Muhammad
bin Sulaiman, Walikota Basrah. Ketika ia dikerek di tiang gantungan untuk
dipenggal kepalanya, mengaku telah membuat hadits maudlu' sebanyak 4000 hadits.
b)
Bayan bin Sam'an Al Mahdi, yang mati dibunuh oleh Khalid bin
Abdillah.
c)
Muhammad bin Sa'id Al Mashlub yang akhirnya dibunuh oleh Abu
Ja'far Al Mansyur.
Khalifah yang mempunyai perhatian serius untuk memberantas gerakan
Zindiq ialah Khalifah Al Mahdi. Beliau mengadakan biro khusus untuk mengikis
faham Zindiqiyah.
3)
Fanatik kebangsaan, kesukuan, kedaerahan,
kebahasaan, dan kultus individu terhadap imam mereka
Mereka yang ta'ashshub (fanatik) kepada bangsa dan bahasa
Persi mengutarakan hadits maudlu':
اِنَّ اللهَ اِذَا غَضِبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ
وَاِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ
Artinya:
"Sungguh
Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan bila rela
menurunkan wahyu dengan bahasa Persi".
Kemudian mereka yang merasa tersinggung membuat hadits untuk
menandinginya:
اِنَّ اللهَ اِذَا غَضِبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ
وَاِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ
Artinya:
"Sungguh
Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Persi dan bila rela
menurunkan wahyu dengan bahasa Arab".
Mereka yang mendewa-dewakan Abu Hanifah membuat hadits maudlu':
سَيَكُوْنُ رَجُلٌ فِى اُمَّتِى يُقَالُ لَهُ اَبُوْ حَنِيْفَةَ
النُّعْمَانُ هُوَ سِرَاجُ اُمَّتِى
Artinya:
"(Rasulullah
saw. bersabda): Nanti bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku yang bernama
Abu Hanifah An Nu'man sebagai pelita ummatku".
Kemudian golongan Syaf'iyah yang sempit pandangannya melibatkan
diri untuk membuat hadits maudlu' untuk malawan pengikut-pengikut Hanafiyah:
سَيَكُوْنُ فِى اُمَّتِى رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ
اِدْرِيْسٍ هُوَ اَضَرُّ عَلَى اُمَّتِى مِنَ اْلاِبْلِيْسِ
Artinya:
"(Rasulullah
saw. bersabda): Nanti bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku yang bernama
Muhammad bin Idris yang paling menggentarkan ummatku daripada iblis".
4)
Membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat untuk
menarik minat para pendengarnya
Kisah dan nasihat-nasihat yang mereka buat itu didakwakan berasal
dari Nabi Muhammad saw. Misalnya kisah-kisah yang menggembirakan tentang surga,
ia lukiskan:
فِيْهَا الْحَوْرَاءُ مِنْ مِسْكٍ اَوْ زَعْفَرَانٍ وَعَجِيْزَتُهَا
مَيْلٌ فِى مَيْلٍ وَيُبْوِئُ اللهُ وَلِيَّهُ قَصْرًا مِنْ لُؤْلُؤَةٍ بَيْضَاءَ
فِيْهَا سَبْعُوْنَ اَلْفِ مَقْصُوْرَةٍ فِى كُلِّ مَقْصُوْرَةٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ
قُبَّةٍ فَلاَ يَزَالُ هَكَذَا فِى السَّبْعِيْنَ اَلْفًا لاَيَتَحَوَّلُ عَنْهَا
Artinya:
"Di dalam
surga itu terdapat bidadari-bidadari yang berbau harum semerbak, masa tuanya
berjuta-juta tahun dan Allah menempatkan mereka di suatu istana yang terbuat
dari mutiara putih. Pada istana itu terdapat 70.000 paviliun yang setiap
paviliun mempunyai 70.000 kubah. Yang demikian itu tetap berjalan sampai 70.000
tahun tidak bergeser sedikitpun".
5)
Mempertahankan mazhab dalam masalah
khilafiyah fiqhiyah dan kalamiyah
Mereka yang menganggap tidak sah sembahyang dengan mengangkat
tangan tatkala sembahyang, membuat hadits maudlu':
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الصَّلاَةِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
Artinya:
"Barangsiapa
mengangkan kedua tangannya di dalam shalat maka tidak sah shalatnya".
Golongan Mutakallimin mengkafirkan orang yang berpendapat bahwa Al
Qur'an itu makhluk (ciptaan baru), dengan mengeluarkan hadits yang didakwakan
berasal dari Nabi Muhammad saw.
كُلُّ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَهُوَ
مَخْلُوْقٌ غَيْرُ اللهِ وَالْقُرْآنِ, سَيَجِيْئُ اَقْوَامٌ مِنْ اُمَّتِى
يَقُوْلُوْنَ: اَلْقُرْآنُ مَخْلُوْقٌ فَمَنْ قَالَ ذَالِكَ فَقَدْ كَفَرَ بِاللهِ
الْعَظِيْمِ وَطُلِقَتْ مِنْهُ اِمْرَأَتُهُ مِنْ سَاعَتِهَا
Artinya:
"Setiap yang
ada di langit, di bumi, dan di antara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah
dan Al Qur'an. Nanti bakal datang kaum-kaum dari ummatku yang mengatakan bahwa
Al Qur'an itu makhluk (baharu). Oleh sebab itu, barangsiapa mengatakan
demikian, sungguh kafir terhadap Allah Yang Maha Besar, dan tertalaklah
istrinya sejak saat itu".
6)
Mencari muka di hadapan para penguasa untuk
mencari kedudukan atau mencari hadiah
7)
Kejahilan mereka dalam ilmu agama disertai
dengan adanya kemauan keras untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya
Mereka menganggap
bahwa membuat hadits untuk tarqhib dan tarhib, demi untuk taqarrub
kepada Allah dan berkhidmat kepada agama, diperbolehkan. Mereka banyak membuat
hadits maudlu' tentang keutamaan surat-surat Al Qur'an di luar apa yang telah
diterangkan oleh nash-nash yang sharih.
e. Usaha-usaha para ulama
dalam memberantas pemalsuan hadits
Usaha-usaha para ulama dalam memelihara sunnah
dan membersihkannya dari pemalsuan hadits ialah:
1)
Meng-isnad-kan hadits
Pada awal-awal
Islam, yakni sejak dari masa Rasulullah saw. masih hidup sampai dengan
timbulnya fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan r.a. para shahabat saling
percaya-mempercayai satu sama lain. Para
tabi'in tidak ragu-ragu menerima berita dari shahabat tentang hadits Rasulullah
saw. Akan tetapi setelah terjadi fitnah dan kaum muslimin sudah mulai berpecah
belah dalam beberapa partai dan golongan serta mulai bertebaran pemalsuan
hadits-hadits Rasulullah, maka para shahabat dan tabi'in sangat berhati-hati
dalam menerima hadits dari rawi-rawinya.
Mulailah mereka
meminta sanad kepada orang yang menyampaikan hadits dan akhirnya menetapkan
sanad suatu hadits. Sebab, sanad bagi hadits bagaikan nasab bagi seseorang.
Muhammad bin
Sirrin (seorang tabi'i yang lahir tahun 33 H meninggal tahun 110 H)
menceritakan bahwa "para shahabat yang semula dalam menerima hadits
tidak selalu menanyakan sanadnya. Akan tetapi setelah terjadi fitnah, mereka
selalu meminta untuk disebutkan sanadnya. Kemudian setelah disebutkan sanadnya,
lalu diteliti; kalau sanad itu terdiri dari ahli sunnah, diambilnya dan kalau
terdiri dari ahli bid'ah, ditolaknya".
2)
Meningkatkan perlawatan hadits
Mereka
meningkatkan perlawatan mencari hadits dari satu kota ke kota
lain untuk menemui para shahabat yang meriwayatkan hadits. Sejak saat itu, para
penuntut hadits apabila mendengar suatu hadits dari seorang rawi, dengan segera
mereka mencari shahabat Rasulullah untuk memperkuatnya. Demikian juga para
shahabat mengadakan perlawatan mencari hadits dari kawannya shahabat yang
berada di luar daerahnya. Misalnya shahabat Ayyub menemui shahabat 'Uqbah bin
Amir di Mesir dan shahabat Jabir menemui shahabat 'Abdullah bin Anis untuk mencari
suatu hadits.
Abu 'Aliyah
mengatakan bahwa ia tidak rela kalau mendengar hadits dari shahabat
Rasulullah saw. yang berada di Basrah, sekiranya ia tidak pergi ke Madinah
untuk mendengarkan hadits tersebut dari para shahabat yang berada di sana.
3)
Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits
Dalam rangka
berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari mereka, menumpas para
pemalsu hadits, melarang mereka (pemalsu hadits) untuk meriwayatkan hadits dan
menyerahkan pemalsu hadits kepada penguasa.
'Amir Asy Sya'bi
pernah bertemu dengan Abu Shalih dan beliau memarahinya. Bentaknya: "Celaka
kamu! Kenapa kamu menafsirkan Al Qur'an, padahal kamu tidak baik
membacanya".
Murrah Al Hamdani
pernah mendengar sebuah hadits dari Al Harits Al A'war pendukung golongan
Syi'ah yang banyak membuat hadits maudlu', lalu ia disuruh jongkok di muka
pintu dan kemudian dibunuh.
4)
Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya
Para shahabat,
tabi'in, dan tabi'it-tabi'in mempelajari biografi para rawi, tingkah lakunya,
kelahirannya, kamatiannya, keadilannya, daya ingatannya, dan kemampuan
menghafalnya untuk membedakan hadits yang shahih dan yang palsu. Jika terdapat
sifat-sifat yang tercela, mereka beritahukan kepada khalayak umum. Mereka
mengkritik atau memuji identitas seorang rawi, hanya semata-mata takut kepada
Allah. Mereka mengambil hadits dari seorang rawi, bukan karena takut kepada
rawi tersebut atau karena belas kasihan.
Untuk kepentingan
itu, mereka membuat ketentuan-ketentuan untuk menetapkan sifat-sifat rawi yang
dapat dan tidak dapat diambil, ditulis atau diriwayatkan haditsnya.
Para rawi yang tidak
boleh diambil haditsnya ialah:
a)
Orang yang mendustakan Rasulullah saw.
b)
Orang yang berdusta dalam pembicaraan umum, walaupun tidak
berdusta kepada Rasulullah saw.
c)
Ahli bid'ah.
d)
Orang Zindiq, fasiq, pelupa dan orang yang tidak mengerti apa yang
diceritakannya.
Adapun para rawi
yang ditangguhkan periwayatannya ialah:
a)
Orang yang diperselisihkan tentang jarh (cacat) dan ta'dil
(keadilan)-nya.
b)
Orang yang banyak salahnya daripada benarnya serta banyak
berlawanan dengan periwayatan orang tsiqah.
c)
Orang yang banyak lupa.
d)
Pelupa karena lanjut usia.
e)
Orang yang kurang baik hafalannya.
5)
Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang
klasifikasi hadits
Mereka membuat
ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih, hasan, dan hadits dla'if.
6)
Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui
ciri-ciri hadits maudlu'
Mereka membuat
ketentuan mengenai tanda-tanda (ciri-ciri) hadits maudlu', baik ciri-ciri yang
terdapat pada sanad maupun matannya.[1]
4.
Kedudukan Hadits Dla'if
Sebagaimana telah kita ketahui, tidaklah sama
hal-hal yang menyebabkan hadits menjadi jatuh ke dalam hadits dla'if. Cacat
hadits dla'if berbeda-beda, baik macamnya maupun berat ringannya. Oleh karena
itu tingkatan (martabat) hadits dla'if juga berbeda. Dari hadits yang
mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya, maka hadits yang paling buruk
atau paling rendah martabatnya adalah hadits maudlu' dan berturut-turut hadits
matruk, hadits munkar, hadits mu'allal, hadits mudraj, hadits maqlub dan
seterusnya. Dari hadits-hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya, maka
hadits yang paling lemah adalah hadits mu'allaq (kecuali hadits-hadits shahih
yang diriwayatkan secara mu'allaq oleh Bukhari dalam kitab shahihnya), dan
selanjutnya hadits mu'dlal, hadits munqathi', yang terakhir hadits mursal.
Kendati berbeda tingkatan hadits-hadits dalam
lingkungan hadits dla'if, namun hadits dla'if tetaplah hadits dla'if yang harus
dipandang sebagai bukan hadits Rasulullah saw. Oleh sebab itu, para ulama sepakat
untuk menolak hadits dla'if sebagai hujjah (dasar, dalil, alasan) dalam
menetapkan akidah dan hukum. Para ulama memang
berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memakai hadits dla'if tertentu, yang
menjelaskan tentang berbagai keutamaan yang terkandung dalam suatu amal yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagian ulama membolehkan karena
memandang bahwa hadits tersebut dapat mendorong orang untuk lebih giat
mewujudkan amal yang diperintahkan itu. Tapi sebagian lagi tidak membolehkan
memakai hadits dla'if manapun, karena khawatir bahwa orang banyak akan
memandang hadits dla'if yang dipakai itu sebagai hadits Rasulullah. Padahal
hadits tersebut harus dipandang bukan sebagai hadits beliau.
Jadi, hadits dla'if seperti halnya dengan
pembicaraan manusia lainnya yang bukan Rasulullah, tidak mempunyai kedudukan
sebagai sumber pokok ajaran Islam dalam semua aspeknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar