Sabtu, 27 Juni 2015

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI DITERIMA (MAQBUL) DAN DITOLAKNYA (MARDUD)



PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI DITERIMA (MAQBUL) DAN DITOLAKNYA (MARDUD)


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa hadits mutawatir adalah wajib diterima dan diamalkan oleh segenap ummat Islam dan tidak perlu dipersoalkan lagi tentang mutu dan kedudukannya. Namun sebaliknya hadits ahad yang terdiri dari hadits masyhur, hadits 'aziz dan hadits gharib masih perlu dipersoalkan di sini. Karena sebagian dari hadits-hadits ahad tersebut ada yang shahih, hasan dan ada pula yang dla'if.
Hadits shahih dan hadits hasan selanjutnya digolongkan ke dalam hadits yang diterima (maqbul), sedangkan hadits dla'if digolongkan ke dalam hadits yang ditolak (mardud).


A. Hadist Shahih

1.  Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa ialah sehat, lawan dari kata saqim yang artinya sakit. Shahih kadang diartikan benar dan baik, lawan dari kata salah dan batil. Adapun pengertian shahih menurut istilah ahli hadits adalah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ
Artinya:
"Suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, tidak cacat dan tidak berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi".

2.  Syarat-Syarat Hadits Shahih
Berdasarkan definisi hadits shahih di atas, maka suatu hadits dapat dipandang shahih apabila memenuhi lima syarat, yaitu
a.       Perawinya harus adil yaitu perawi yang selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat dan juga selalu menjuhi perbuatan dosa sekalipun dosa kecil. Ia juga selalu menjaga dirinya dari tingkah laku yang tidak sopan seperti kata-kata keji, kencing di muka umum sambil berdiri dan lain sebagainya.
b.      Perawinya harus sempurna ingatannya (dlabit), yaitu bahwa daya ingatannya sangat tajam. Ia lebih banyak ingat daripada lupa, dan kebenarannya lebih banyak daripada salahnya.
c.       Rangkaian perawi/sanad tidak terputus-putus. Yaitu bahwa setiap perawi harus saling bertemu dan menerima langsung dari gurunya yang memberikan hadits itu.
d.      Tidak mempunyai cacat. Yaitu suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits.
e.       Tidak mempunyai kejanggalan, yaitu isi kandungan hadits tersebut tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, yakni Al Qur'an dan hadits mutawatir.

3.  Pembagian Hadits Shahih
Hadits shahih dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hadits shahih lidzatih (hadits shahih karena dirinya) dan hadits shahih lighairih (hadits shahih yang bukan karena dirinya).

a.  Hadits shahih li dzatih
Hadits shahih li dzatih adalah hadits yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadits shahih, seperti yang sudah dikemukakan di atas. Contohnya adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِاللهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذَا كَانُوْا ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَتَاجَى اِثْنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ (رواه البخارى)
Artinya:
"Bukhari berkata: Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, lalu berkata: Malik dari Nafi' dari Abdullah mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah saw. bersabda: apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga". (HR. Bukhari)

Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf menerimanya dari Malik. Malik menerimanya dari Nafi. Nafi' menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itu adalah shahabat Rasulullah saw. yang mendengar beliau bersabda, seperti hadits di atas. Semua nama-nama tersebut mulai dari Bukhari sampai Abdullah (shahabat Nabi) adalah rawi-rawi yang adil, dlabith, dan benar bersambung, tidak cacat, baik pada sanad, maupun pada matan. Dengan demikian hadits di atas termasuk hadits shahih li dzatih.

b.  Hadits shahih li ghairih
Hadits shahih li ghairih adalah hadits di bawah tingkatan shahih yang menjadi hadits shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits lain. Sekiranya hadits lain yang memperkuat itu tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatan hadits hasan. Hadits shahih li ghairih (hadits shahih yang bukan karena dirinya sendiri, tapi karena diperkuat oleh hadits yang lain) pada hakekatnya adalah hadits hasan li dzatih (hadits hasan karena dirinya sendiri). Supaya lebih jelas, perhatikan hadits berikut!
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْلاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى َلاَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه البخارى والترمذى)
Artinya:
"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku, tentu aku menyuruh mereka menyikat gigi menjelang setiap shalat". (HR. Bukhari dan At Turmudzi)

Perlu diketahui lebih dahulu bila suatu hadits diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadits itu dihitung bukan sebagai satu hadits, tetapi lima hadits. Hadits yang diriwayatkan oleh empat buah sanad, dihitung sebagai empat hadits bukan satu hadits. Jadi, hadits di atas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan sanad tersendiri dan Imam At Turmudzi dengan sanad tersendiri pula, dihitung sebagai dua hadits. Pertama adalah hadits Bukhari yang dinilai sebagai hadits shahih li dzatih; dan kedua adalah hadits Turmudzi, yang dinilai sebagai hadits hasan li dzatih. Hadits Turmudzi itu karena diperkuat oleh hadits Bukhari, naik tingkatannya menjadi hadits shahih li ghairih.

4.  Kedudukan Hadits Shahih
Kedudukan hadits shahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadits hasan dan hadits dla'if, tetapi berada di bawah kedudukan hadits mutawatir. Karena itu hadits mutawatir sering disebut sebagai hadits shahih mutawatir, maka dapat pula dikatakan bahwa hadits shahih ahad lebih tinggi kedudukannya dari hadits hasan dan hadits dla'if, tetapi lebih rendah dari kedudukan hadits mutawatir.
Hadits shahih mutawatir adalah hadits yang pasti shahih (benar) berasal dari Rasulullah. Hadits shahih ahad tidaklah pasti, tetapi dekat kepada kepastian. Hadits shahih 'aziz lebih dekat kepada kepastian dibanding dengan hadits shahih gharib, dan hadits shahih masyhur (mustafidl) paling dekat kepada kepastian benarnya bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw.
Selain perincian di atas, ada pula penentuan urutan tingkat (martabat) hadits shahih sebagai berikut:
a.       Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
b.      Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri.
c.       Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
d.      Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim (berarti rawi-rawinya terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
e.       Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
f.       Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
g.      Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang (mu'tabar).

Semua ulama sepakat menerima hadits shahih mutawatir sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah, baik dalam bidang hukum, akhlak, maupun dalam bidang aqidah. Siapa yang menolak hadits shahih mutawatir dipandang kafir. Semua ulama juga sepakat menerima hadits shahih ahad sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah dalam bidang hukum dan moral, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kehujjahannya dalam bidang aqidah. Sebagian ulama menolak kehujjahan hadits shahih ahad dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.

5.  Martabat Hadits Shahih
Kekuatan hadits shahih itu kurang lebih mengingat sifat kedlabitan dan keadilan rawinya. Hadits shahih yang paling tinggi derajatnya ialah hadits yang bersanad ashahhul-asanid, kemudian berturut-turut sebagai berikut:
a.       Hadits yang muttafaqun 'alaih atau muttafaqun 'alaih shihhatihi. Yaitu hadits shahih yang telah disepakati oleh kedua imam hadits Bukhari dan Muslim tentang sanadnya.

Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa kesepakatan antara kedua Imam Bukhari dan Muslim itu maksudnya adalah persesuaian keduanya dalam men-takhrij-kan asal hadits dari shahabi, kendatipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam gaya bahasa (siyaqul kalam)nya. Misalnya hadits Bukhari yang bersanadkan Isma'il, Malik, Tsaur bin Zaid, Abil Ghais, dan Abu Hurairah r.a.:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلسَّاعِىُّ عَلَى اْلاَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ اَوْ كَالَّذِى يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ
Artinya:
"Orang-orang yang memelihara janda dan orang miskin itu, bagaikan pejuang sabilillah atau bagaikan orang yang berpuasa di siang hari dan bertahajjut di malam hari".

Dengan hadits Muslim yang bersanadkan 'Abdullah bin Masalamah, Malik, Tsaur bin Zaid, Abil Ghais, dan Abu Hurairah:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلسَّاعِىُّ عَلَى اْلاَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَاَحْسِبُهُ كَالْقَائِمِ لاَيَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لاَيُفْطِرُ
Artinya:
"Orang yang memelihara janda dan orang miskin itu bagaikan orang yang tiada henti-hentinya bertahajjut di malam hari dan bagaikan orang yang berpuasa tiada berbuka-buka".

Walaupun kedua hadits Bukhari dan Muslim tersebut  mempunyai sanad dan gaya bahasa yang berbeda, namun karena shahabat yang menjadi rawi pertama adalah orang yang sama, tetap dikatakan muttafaqun 'alaih.
Berbeda dengan hadits Bukhari yang bersanadkan 'Abdullah bin Shalih, Yahya, Sa'id, 'Amrah dan 'Aisyah r.a. yang mengabarkan bahwa 'Aisyah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اَ,ْلاَرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا اِئْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اِخْتَلَفَ
Artinya:
"'Aisyah berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Jiwa-jiwa itu merupakan kumpulan jenis, setiap jiwa saling bermesraan dengan jenis yang dikenalinya dan saling bersengketaan dengan jenis yang tidak dikenalinya (diingkarinya)".

Walaupun Imam Muslim meriwayatkan juga hadits yang semakna dengan hadits tersebut, namun tidak lazim dikatakan dengan muttafaqun 'alaih, lantaran Imam Muslim men-takhrij-kan hadits yang semisal itu dari shahabat Abu Hurairah, bukan dari 'Aisyah r.a.
Istilah muttafaqun 'alaih, bukan berarti telah mendapat persetujuan dari seluruh ummat, hingga harus diterima bulat-bulat. Namun demikian, menurut Ibnu-sh Shalah bahwa hadits yang telah disepakati oleh kedua imam tersebut, harus diterima oleh seluruh ummat Islam, disebabkan sebagian ummat Islam bisa menerimanya.
Pendapat Ibnu-sh Shalah ini, sungguh dapat dibenarkan, mengingat kemasyhuran dan kemampuan beliau amat mencakup bidang ilmu hadits, dan beliau termasuk sponsornya. Demikian juga ketekunan dan ketelitian beliau dalam mentapis hadits-hadits shahih melebihi ulama lain yang terdahulu dan yang terkemudian. Oleh karena itulah para Muhadditsin dan ummat Islam, secara aklamasi menerima pen-tarjih-an Ibnu-sh Shalah, bahwa semua hadits yang diriwayatkan (di-tarjih-kan) oleh kedua imam hadits tersebut, menurut globalnya adalah ashahhush shihhah.

b.      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri, sedang Imam Muslim tidak meriwayatkannya.

Para Muhadditsin menamainya dengan infarada bihil Bukhari. Misalnya hadits:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Artinya:
"Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah saw: Dua buah kenikmatan yang sangat besar dan harus dibelinya dengan harga yang tinggi oleh kebanyakan orang, ialah kesehatan dan kelimpahan waktu untuk taat kepada Tuhan". (HR. Bukhari)

Walaupun Imam At Turmudzi dan Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits tersebut dalam kitab sunannya, namun karena Imam Muslim tidak meriwayatkannya tetap dikatakan infarada bihil Bukhari.

c.       Hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri sedang Imam Bukhari tidak meriwayatkannya. Para Muhadditsin menamainya dengan infarada bihi Muslim. Misalnya hadits:
عَنْ اَبِى رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ اَوْسٍ الدَّارِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ: اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ.  قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ:  ِللهِ وَلِكِتَابِهِ وَرَسُوْلِهِ وَ ِلأَئِمَّتِهِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ (رواه مسلم)
Artinya:
"Dari Abi Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dary r.a. berkata: Bahwasannya Nabi Muhammad saw. bersabda: Agama itu nasihat. Kami bertanya: Untuk siapa? Rasul menjawab: Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan segenap kaum muslimin".

Para imam hadits, seperti Ahmad, Abu Dawud, At Tumudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah, Asy Syafi'i, dan Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits tersebut, hanya Imam Bukhari saja yang tidak meriwayatkannya. Karena itu, hadits tersebut masih lazim dikatakan infarada bihi Muslim, jika dinisbatkan kepada dua imam hadits Bukhari dan Muslim.

d.      Hadits shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim, yang disebut shahihun 'ala syarthi'l Bukhari wa Muslim, sedang kedua imam tersebut tidak meriwayatkannya.

Yang dimasud dengan istilah menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim ialah bahwa rawi-rawi yang dikemukakan itu terdapat di dalam kedua kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Demikian juga halnya, kalau dikatakan shahihun 'ala syarthil Bukhari atau syarthi Muslim, artinya rawi-rawi yang menjadi sanad hadits yang di-takhrij-kan tersebut terdapat di dalam shahih Bukhari atau shahih Muslim. Para Muhadditsin yang berpendapat demikian antara lain Ibnu Daqiqil 'Id, An Nawawi, dan Adz Dzahabi.
Contoh hadits shahih yang menurut syarat kedua Imam Bukhari dan Muslim adalah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّ مِنْ اَكْمَلِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَاَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِمْ (رَوَاهُ التِّرْمِذِىُّ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطِى الْبُخَارِى وَمُسْلِمٍ)
Artinya:
"Dari 'Aisyah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Termasuk penyempurnaan iman seorang mu'min ialah keluhuran budi pekertinya dan kelemah lembutan terhadap keluarga". (Riwayat At Turmudzi dan Hakim dan ia berkata bahwa hadits ini syarat Bukhari dan Muslim)

e.       Hadits shahih yang menurut syarat Bukhari, sedang beliau sendiri tidak men-takhrij-kannya. Hadits yang demikian ini, disebut dengan shahihun 'ala syarthil Bukhari.

f.       Hadits yang menurut syarat Muslim, sedang Imam Muslim sendiri tidak men-takhrij-kannya. Hadits yang demikian ini dikenal dengan nama shahihun 'ala syarthil Muslim.

g.      Hadits shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim. Ini berarti bahwa si pen-takhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan tetapi hadits yang di-takhrij-kan tersebut dishahihkan oleh imam-imam hadits yang kenamaan. Misalnya hadits-hadits shahih yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan Shahih Al Hakim.

Faedah pembagian derajat-derajat hadits tersebut adalah untuk men-tarjih-kan bila ternyata terdapat ta'arudl (perlawanan) satu sama lain. Pen-tarjih-an di sini maksudnya ialah pen-tarjih-an menurut globalnya (keseluruhan), bukan pen-tarjih-an kesatuan hadits dengan kesatuan hadits lain. Yakni hadits yang dinilai dengan muttafaqun 'alaih adalah lebih rajih dan mempunyai derajad yang lebih tinggi dari infarada bihil Bukhari. Hadits yang di-takhrij-kan oleh Imam Bukhari sendiri mempunyai derajad yang lebih tinggi daripada hadits yang hanya di-takhrij-kan oleh Imam Muslim sendiri (infarada bihil Muslim) dan seterusnya menurut tertib tersebut di atas. Yang demikian itu andai kata terdapat perlawanan satu sama lain.
Tetapi kalau dilihat dari nilai kesatuannya (satu per satunya), ada kemungkinan kita mendapati sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, misalnya sebuah hadits disamping diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga diriwayatkan oleh Imam Muslim; akan tetapi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mempunyai beberapa sanad sedang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari hanya mempunyai satu sanad. Jadi, hadits Imam Muslim dalam perumpamaan ini, lebih rajih daripada hadits Imam Bukhari. Demikian juga jika hadits yang diriwayatkan oleh Imam selain Imam Bukhari dan Muslim itu mempunyai sanad yang ashahhul asanid niscaya lebih rajih daripada hadits muttafaqun 'alaih yang tidak ashahhul asanid.
Hadits shahih yang paling tinggi tingkatannya ialah perawinya terdiri dari Bukhari dan Muslim (muttafaqun 'alaih), kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari saja, oleh Muslim saja, dan sebagainya.
Kedudukan hadits shahih sungguh pun demikian tetap berada di bawah derajad hadits mutawatir. Sebab setiap hadits mutawatir sudah pasti shahih, sedangkan tidak setiap hadits shahih itu mutawatir.

B. Hadits Hasan

1.  Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa hasan artinya baik atas segala sesuatu yang diingini, yang dirindui dan disenangi oleh keinginan hawa nafsu. Sedangkan menurut istilah hadits hasan adalah:
مَالاَ يَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًا وَيَرْوِيْهِ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ بِنَحْوِهِ فِى الْمَعْنَى
Artinya:
"Hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh berdusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan melainkan mempunyai banyak jalan yang sepadan dengan maknanya".

Menurut definisi lain, hadits hasan ialah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍ
Artinya:
"Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang daya ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz".

Dengan demikian hadits hasan dan hadits shahih hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada hadits hasan perawinya kurang sempurna ingatannya, sedangkan pada hadits shahih perawinya terdiri dari orang yang kuat daya ingatannya.

2.  Syarat-Syarat Hadits Hasan
Berdasarkan pengertian di atas, maka hadits hasan harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Perawinya orang yang adil.
b.      Perawinya agak kurang daya ingatannya.
c.       Bersambung-sambung sanadnya.
d.      Tidak mempunyai cacat/'illat.
e.       Tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat.

Penjelasan untuk masing-masing syarat di atas sama dengan penjelasan yang telah diterangkan pada pembahasan hadits shahih.

3.  Pembagian Hadits Hasan
Hadits hasan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadits hasan li dzatih dan hadits hasan li ghairih.

a.  Hadits hasan li dzatih
Hadits hasan li dzatih adalah hadits yang memiliki persyaratan hadits hasan tersebut di atas. Hadits itu menjadi hadits hasan bukan karena diperkuat oleh hadits yang lain, tapi karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi semua syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi-rawinya kurang dlabit (kurang kuat hafalannya).
Di antara hadits-hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih, sebagian tetap saja pada tingkatan hadits hasan tersebut, tetapi sebagian lainnya dapat naik pada tingkatan hadits shahih li ghairih. Bila suatu hadits hasan li dzatih tidak diperkuat oleh hadits yang lain yang berada pada tingkatan hadits shahih atau pada tingkatan hadits hasan li dzatih pula, maka hadits tersebut tetap berada pada tingkatan hadits hasan li dzatih.
Sebaliknya, bila suatu hadits yang termasuk hadits hasan li dzatih diperkuat oleh hadits yang lain (baik berada pada tingkatan hadits shahih maupun pada tingkatan hadits hasan li dzatih), maka hadits tersebut naik tingkatannya menjadi hadits shahih li ghairih. Hadits demikian dapat disebut secara lengkap hadits hasan li dzatih shahih li ghairih (hadits hasan karena dirinya, shahih karena lainnya), dan juga dapat disebut lebih singkat: hadits hasan shahih. Hanya saja perlu diketahui bahwa disamping ada ulama yang mengartikan sebutan hadits  hasan shahih dengan hadits hasan lidzatih shahih li ghairih, ada pula ulama yang mengartikan sebutan tersebut dengan dua hadits yang sama matannya, tapi hadits yang satu mempunyai sanad yang hasan, sedangkan hadits yang lain memiliki sanad yang shahih.
Contoh hadits hasan li dzatih adalah hadits tentang menyikat gigi menjelang shalat, yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Abu Hurairah (sudah dikemukakan pada pembahasan hadits shahih li ghairih).

b.  Hadits hasan li ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan, karena ada hadits lain yang menguatkannya. Dengan kata lain, hadits hasan li ghairih adalah hadits dla'if yang karena dikuatkan oleh hadits lain, meningkat menjadi hadits hasan.
Hadits dla'if yang dikuatkan oleh hadits dla'if yang lain bisa menjadi hadits hasan li ghairih, dan bisa pula tidak naik tingkatannya. Hal ini disebabkan keadaan hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if beraneka ragam. Hadits dla'if karena lemahnya hafalan rawi (padahal rawinya dikenal jujur), dapat meningkat menjadi hadits hasan li ghairih, bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleh rawi yang lemah hafalannya. Demikian pula hadits dha'if lain, yang disebabkan oleh tidak disebutkannya rawi tingkatan shahabat Nabi atau tidak dikenal salah seorang perawinya, dapat meningkat menjadi hadits hasan li ghairih, bila hadits tersebut dikuatkan oleh hadits yang lain.
Tidak demikian halnya dengan hadits dla'if yang disebabkan oleh rawi yang dikenal pendusta atau dikenal fasik. Hadits dla'if seperti itu, bila dikuatkan oleh hadits lain yang serupa tidaklah hilang kedla'ifannya (kelemahannya), bahkan bertambah dla'if (bertambah lemah), jadi tidak bisa meningkat menjadi hadits hasan li ghairih.
Contoh hadits hasan li ghairih adalah:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ اَنْ يَغْتَسِلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ (رواه الترمذى)
Artinya:
"Rasulullah saw. bersabda: Merupakan hak atas kaum muslim, mandi pada hari jum'at". (HR. At Turmudzi).

Hadits di atas diterima oleh Turmudzi melalui dua sanad:
Pertama:    dari Ali bin Hasan Al Kufi, dari Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.
Kedua   :    dari Ahmad bin Mani', dari Hasyim, dari Yazid bin Ziyad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Barra' bin Azib, dari Rasulullah saw.

Rawi-rawi dalam sanad pertama cukup terpercaya, kecuali Abu Yahya bin Ibrahim At Taimi yang dianggap lemah hafalannya. Karena itu, hadits yang dirawikan sanad pertama dipandang sebagai hadits dla'if. Rawi-rawi dalam sanad kedua juga cukup terpercaya, kecuali Hasyim yang dikenal mudallis (menyembunyikan cacat suatu hadits). Karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh sanad kedua juga dipandang sebagai hadits dla'if. Kedua hadits tersebut (karena ada dua sanad harus dihitung dua hadits) saling meguatkan, oleh sebab itu masing-masing hadits naik tingkatannya menjadi hadits hasan li ghairih.

4.  Kedudukan Hadits Hasan
Para Ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadits hasan berada sedikit di bawah tingkatan hadits shahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber hukum Islam atau sebagai hujjah. Sebagian ulama menolak hadits hasan sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya jumhur (mayoritas) ulama memperlakukan hadits hasan seperti hadits shahih, mereka menerima hadits hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik dalam bidang hukum, moral maupun dalam bidang aqidah.

C. Hadits Dla’if

1.  Pengertian Hadits Dla'if
Hadits dla'if ialah:
مَا فَقِدَ شَرْطًا اَوْ اَكْثَرَ مِنْ شُرُوْطِ الصَّحِيْحِ اَوِ الْحَسَنِ
Artinya:
"Ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan".

Hadits dla'if banyak macamnya, dan mempunyai perbedaan derajad satu sama lain, hal ini disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan yang tidak dipenuhinya. Hadits dla'if yang disebabkan karena tidak bersambung-sambung sanadnya dan tidak adil rawinya adalah lebih dla'if dari pada hadits dla'if yang hanya keguguran satu syarat maqbul (syarat-syarat yang diterima untuk hadits shahih dan hasan) saja, baik pada sanadnya maupun pada rawinya. Hadits dla'if yang keguguran tiga syarat maqbul adalah lebih dla'if daripada hadits dla'if yang keguguran dua syarat.
Al 'Iraqi membagi hadits dla'if menjadi 42 bagian dan sebagian ulama yang lain, membaginya menjadi 129 bagian.

2.  Klasifikasi Hadits Dla'if Menurut Muhadditsin
Dari segi diterima atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah, hadits ahad terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Yang termasuk hadits maqbul yaitu hadits shahih dan hadits hasan, sedangkan yang termasuk hadits mardud yaitu hadits dla'if dengan segala macamnya. Untuk mengetahui syarat-syarat suatu hadits dapat diterima (maqbul), tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan tentang sebab-sebab ditolaknya suatu hadits.
Para Muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan. Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.


a.  Dari jurusan sanad diperinci menjadi dua bagian
1)      Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun hafalannya.
2)      Ketidak bersambung-sambungnya sanad dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.

Keterangan:
1)  Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi ada 10 macam:
a)      Dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya dusta disebut hadits maudlu'.
b)      Tertuduh dusta. Hadits dla'if yang karena rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
c)      Fasiq.
d)     Banyak salah.
e)      Lengah dalam menghafal. Hadits dla'if yang karena rawinya fasiq, banyak salah, dan lengah disebut hadits munkar.
f)       Banyak waham (purbasangka). Hadits dla'if yang karena rawinya waham disebut hadits mu'allal.
g)      Menyalahi riwayat orang kepercayaan. Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut karena dengan penambahan suatu sisipan maka hadits ini disebut hadits mudraj; Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan memutar balikkan, maka hadits ini disebut hadits maqlub; Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan menukar-bukar rawi, maka hadits ini disebut hadits mudltharib, Kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan merubah syakal – huruf, maka hadits ini disebut hadits muharraf; dan kalau perubahan itu tentang titik-titik kata, maka hadits ini disebut hadits mushahhaf.
h)      Tidak diketahui identitasnya (jahalah). Hadits dla'if yang karena jahalah ini disebut hadits mubham.
i)        Penganut bid'ah. Hadits dla'if yang karena rawinya penganut bid'ah disebut hadits mardud.
j)        Tidak baik hafalannya. Hadits dla'if yang karena ini disebut hadits syadz dan mukhtalith.
2)   Sebab-sebab tertolaknya hadits karena sanadnya digugurkan (tidak bersambung)
a)      Kalau yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut hadits mu'allaq.
b)      Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat) disebut hadits mursal.
c)      Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mu'dlal.
d)     Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi'.

b.  Dari jurusan matan
Hadits dla'if yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan ialah hadits mauquf dan hadits maqthu'.

1)      Hadits mauquf
Al mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadits. Hadits mauquf menurut istilah ialah:
مَا اُضِيْفَ اِلَى الصَّحَابِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مُتَّصِلاً كَانَ اَوْ مُنْقَطِعًا
Artinya:
"Segala yang disandarkan kepada shahabat r.a. baik perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik bersambung-sambung sanadnya, maupun yang terputus-putus".

Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali yang dihukumi marfu'. Karena itulah ia dihukumi dla'if, meskipun sanadnya shahih. Di antara contohnya ialah:
a)      Perkataan Ibnu Mas'ud
اَلْقُلُوْبُ اَوْعِيَّةٌ فَاشْغُلُوْهَا بِالْقُرْآنِ وَلاَ تَشْغُلُوْهَا بِمَا سَوَاهُ (رواه الخطيب)

Artinya:
"Qalbu-qalbu itu tempat menyimpan, karena itu penuhilah dia dengan Al Qur'an, dan janganlah kamu memenuhinya dengan selain Al Qur'an". (HR. Al Khathib)

b)      Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hibban, katanya:
كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ حُكَمَاءَ فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ
Artinya:
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani, dapat menahan marah, faqih lagi 'alim".

2)      Hadits maqthu'
Al Maqthu' menurut bahasa berarti yang diputuskan atau yang terputus. Sedangkan menurut istilah hadits maqthu' yaitu:
مَا اُضِيْفَ اِلَى التَّبِعِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ
Artinya:
"Segala yang disandarkan kepada tabi'in baik perkataan maupun perbuatannya".

Karena hadits mauquf saja tidak dapat dijadikan hujjah, apalagi hadits maqthu', tentu lebih tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itulah ia dihukumi dla'if, meskipun sanadnya shahih. Az Zarkasyi menegaskan, bahwa "perkataan tabi'i bukan sekali-kali hadits".
Di antara contoh hadits maqthu' ialah:
a)      Perkataan Ad Dlahhak Ibnu Muzahim
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَنٌ تَكْثُرُ فِيْهِ اْلاَحَادِيْثَ حَتَّى يَبْقَى الْمَصَحُفُ بِغُبَارِهِ لاَيَنْظُرُ فِيْهِ (رواه ابن عبد البر)
Artinya:
Akan datang pada manusia suatu masa yang di dalamnya hadits-hadits begitu banyak, sehingga tinggallah mushhaf dengan debunya tidak pernah dilihat". (HR. Ibnu 'Abdil Bar)

b)      Perkataan Ibnu Syihab Az Zuhry
لَوْ لاَ اَحَادِيْثُ تَأْتِيْنَا مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ نَنْكُرُهَا لاَنَعْرِفُهَا مَا كَتَبْتَ حَدِيْثًا وَلاَ اَذِنْتَ فِى كِتَابِهِ (رواه الخطيب)
Artinya:
"Kalau sekiranya tidak ada hadits-hadits yang datang dari timur yang kami ingkari, yang tidak kami kenal, tentulah kami tidak menulis hadits dan tidak mengizinkan orang menulisnya". (HR. Al Khathib)

3.   Macam-Macam Hadits Dla'if Berdasarkan Rawi-Rawinya Tercatat Keadilan dan Kedlabitannya

a.  Hadits maudlu'
Maudlu' menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan. Sedangkan menurut istilah hadits maudlu' ialah:
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوِرًا وَبُهْتَآنًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَمْ خَطَأً
Artinya:
"Hadits yang tercipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah saw. secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja atau tidak".

Yang dikatakan dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah saw. ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali dalam seumur hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima meskipun mereka telah bertaubat. Lain halnya dengan periwayatan orang yang pernah bersaksi palsu, jika mereka telah bertaubat dengan sungguh-sungguh maka riwayatnya dapat diterima.

b.  Ciri-ciri hadits maudlu'
Sebagaimana para ulama menciptakan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan untuk mengetahui shahih, hasan, atau dla'ifnya suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudlu'-an suatu hadits. Mereka menentukan ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan ciri-ciri yang terdapat pada matan hadits.

1)  Ciri-ciri yang terdapat pada sanad
a)      Pengakuan dari si pembuat sendiri, seperti pengakuan seorang guru tasawuf ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al Qur'an serenta menjawab:
لَمْ يُحَدِّثْنِى اَحَدٌ وَلَكِنَّا رَاَيْنَا النَّاسَ قَدْ رَغِبُوْا عَنِ الْقُرْآنِ فَوَضَعْنَالَهُمْ هَذَا الْحَدِيْثَ لِيَصْرِفُوْا قُلُوْبَهُمْ اِلَى الْقُرْآنِ
Artinya:
"Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi serenta kami melihat manusia-manusia sama membenci Al Qur'an, kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al Qur'an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al Qur'an".

Pengakuan seorang rawi, menurut Ibnu Daqiqil 'Id, belum dapat dipastikan me-maudlu'-kan suatu hadits, karena mungkin saja si rawi itu berbohong dalam pengakuannya.

b)      Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudlu'.
Misalnya:
Seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut. Atau menerima dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.

c)      Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
d)     Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim tatkala ia berkunjung ke rumah Al Mahdi yang tengah bermain dengan burung merpati. Katanya:
لاَسَبْقَ اِلاَّ فِى نَصْلٍ اَوْ خُفٍّ اَوْ حَافِرٍ اَوْ جَنَاحٍ
Artinya:
"Tidak sah perlombaan itu selain mengadu anak panah, mangadu onta, mangadu kuda, atau mengadu burung".

Perkataan اَوْ جَنَاحٍ (mengadu burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri, dengan spontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud untuk membesarkan hati atau setidak-tidaknya membenarkan tindakan Al Mahdi yang sedang melombakan burung. Tingkah laku Ghiyats semacam itu menjadi qarinah untuk menetapkan ke-maudlu'-an suatu hadits.

2)  Ciri-ciri yang terdapat pada matan
Ciri-ciri yang terdapat pada matan dapat ditinjau dari segi makna dan dari segi lafadznya. Dari segi maknanya, maka makna hadits itu bertentangan dengan Al Qur'an, hadits mutawatir, ijma', dan bertentangan dengan logika yang sehat.
a)      Contoh hadits maudlu' yang maknanya bertentangan dengan Al Qur'an
وَلَدُ الزِّنَا لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلَى سَبْعَةِ اَبْنَاءٍ
Artinya:
"Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan".

Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan surat Al An'am 164:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ اُخْرَى
Artinya:
"Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain".

Kandungan ayat di atas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.

Contoh lain hadits yang menjelaskan tentang umur dunia:
مِقْدَارُ الدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ وَيَجِئُ فِى اْلاَلْفِ السَّابِعَةِ
Artinya:
"Umur dunia itu 7000 tahun dan sekarang datang pada ribuan yang ke-7."

Hadits di atas adalah sedusta-dustanya hadits. Sebab andaikata hadits itu benar, niscaya orang sekarang ini tinggal beberapa puluh tahun saja. Padahal Allah telah menjelaskan bahwa hanya beliau sendiri yang mengetahui kapan datangnya hari qiyamat itu. Allah berfirman:
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسَاهَا, قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّى لاَ يُجَلِّيْهَا لِوَفْتِهَا اِلاَّ هُوَ (الاعراف: 187)
Artinya:
"Mereka menanyakan kepadamu tentang hari qiyamat: bilakah terjadinya? Sesungguhnya pengetahuan tentang hari qiyamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan kedatangannya sampai hari qiyamat selain dari Dia". (Q.S. Al A'raf: 187)

b)      Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan hadits mutawatir ialah hadits yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad.
وَاِنَّ كُلَّ مَنْ يُسَمَّى بِهَذِهِ اْلاَسْمَاءِ (محمد و احمد) لاَيَدْخُلُ النَّارَ
Artinya:
"Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad dan Ahmad) ini, tidak akan dimasukkan di neraka".

Hadits di atas bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah saw. yang menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditembus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keimanan dan amal shalih.

c)      Contoh hadits maudlu' yang bertentangan dengan ijma' ialah hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah saw. kepada Ali r.a. untuk menjadi khalifah yang menurut mereka bahwa shahabat bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut.
اِنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِ عَلِىٍّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ بِمَحْضَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ, وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ, فَاقَامَهُ بَيْنَهُمْ حَتَّى عَرَفَهُ الْجَمِيْعُ, ثُمَّ قَالَ: هَذَا وَصِىِّ وَاَخِى وَالْخَلِيْفَةُ بَعْدِى, فَاسْمَعُوا وَاَطِيْعُوا
Artinya:
"Bahwa Rasulullah saw. memegang tangan Ali bin Abi Thalib r.a. dihadapan para shahabat seluruhnya yang baru kembali dari haji Wada'. Kemudian Rasulullah membangkitkan Ali, sehingga para shahabat mengetahui semuanya. Lalu beliau bersabda: Ini adalah wasiatku (orang yang saya beri wasiat) dan saudaraku, serta khalifah setelah saya mati. Oleh karena itu, dengarlah dan taatilah".

Hadits di atas adalah maudlu', karena bertentangan dengan ijma' seluruh ummat, bahwa Rasulullah saw. tidak menetapkan (menunjuk) seorang pengganti sesudah beliau meninggal dunia.

Dari segi lafadznya, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ini ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya berlebih-lebihan. Kalau ketidak fasihan itu hanya terletak pada redaksinya saja sedang isinya tidak kacau, menurut pendapat Ibnu Hajar tidak dapat dipastikan sebagai hadits maudlu', sebab ada kemungkinan bahwa rawi hanya meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya yang ia susun sendiri kurang fasih.
Contoh hadits maudlu' dari segi lafadznya, yaitu hadits yang berisikan pahala yang sangat besar bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil):
a)       
لُقْمَةٌ فِى بَطْنِ جَائِعٍ اَفْضَلُ مِنْ بِنَاءِ اَلْفِ جَامِعٍ
Artinya:
"Sesuap makanan di perut si lapar labih baik daripada membangun seribu masjid Jami'".

b)       
مَنْ قَالَ لآ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
Artinya:
"Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ila ha illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan dan setiap lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya".

c.  Sumber-sumber yang diriwayatkan
Para pembuat hadits maudlu' dalam menjalankan tugasnya kadang-kadang mengambil dari fikiran sendiri-sendiri dan kadang-kadang menukil dari perkataan orang-orang yang dipandang 'alim pada waktu itu atau perkataan orang 'alim mutaqaddimin.
Misalnya hadits maudlu' yang dinukil dari perkataan orang-orang mutaqaddimin ialah:
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Artinya:
"Cinta keduniaan adalah modal kesalahan".

Perkataan di atas, sesungguhnya adalah perkataan Malik bin Dinar, tetapi oleh pembuat hadits maudlu' dibangsakan (didakwakan) kepada Nabi Muhammad saw.

d.  Motif-motif yang mendorong untuk membuat hadits maudlu'
Motif-motif yang mendorong mereka membuat hadits maudlu' dan lingkungan yang menyebabkan tumbuhnya, antara lain:

1)      Mempertahankan ideologi partainya (golongannya) sendiri dan menyerang partai lawannya.
Pertentangan politik kekhilafahan yang timbul sejak akhir kekhilafahan 'Utsman dan awal pemerintahan Ali merupakan penyebab langsung munculnya hadits-hadits maudlu'. Pada waktu itu timbul partai Syi'ah dan golongan Mu'awiyah. Setelah Perang Shiffin selesai, timbul pula golongan Khawarij. Di antara golongan-golongan tersebut, golongan Syi'ah Rafidlahlah yang paling banyak membuat hadits maudlu'. Imam Syafi'i berkata: "saya tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta selain kaum Rafidlah". Mereka membuat hadits maudlu' tentang keutamaan Ali dan Alil bait (keluarga-keluarganya).

Tentang keutamaan Fatimah, mereka menciptakan hadits:
لَمَّا اَسْرَى بِالنَّبِىِّ اَتَاهُ جِبْرِيْلُ بِسَفَرْجَلَةِ مِنَ الْجَنَّةِ فَأَكَلَهَا فَعَلَقَتِ السَّيِّدَةُ خَدِيْجَةُ بِفَاطِمَةَ فَكَانَ اِذَا اشْتَاقَ اِلَى رَائِحَةِ الْجَنَّةِ شَمَّ فَاطِمَةَ
Artinya:
"Ketika Nabi Muhammad saw. diisra'kan, Jibril datang memberikan buah Saparjalah (semacam Apel) dari surga lalu dimakannya. Kemudian Sayyidah Khadijah menghubungkan buah tersebut dengan Fatimah. Karena itu apabila Rasulullah saw. rindu bau-bauan surga beliau lalu mencium Fatimah".

Kemaudlu'an hadits di atas sangat jelas. Sebab Fatimah  dilahirkan sebelum terjadi peristiwa Isra' sebagaimana Khadijah meninggal sebelum Isra'.
Di samping golongan Syi'ah membuat hadits-hadits maudlu' untuk menuju golongan sendiri, mereka juga membuat hadits maudlu' yang isinya untuk menjelek-jelekkan lawannya. Misalnya, untuk menjelekkan Mu'awiyah mereka membuat hadits:
اِذَا رَاَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِى فَاقْتُلُوْهُ
Artinya:
"Apabila kamu melihat Mu'awiyah di atas mimbarku, bunuhlah".

Pengikut golongan lain yang merasa golongannya dihina, segera membuat hadits maudlu' untuk mengadakan revance atau setidak-tidaknya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat padanya. Misalnya hadits maudlu' yang diciptakan oleh golongan yang membenarkan kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan 'Utsman.
مَا فِى الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ اِلاَّ مَكْتُوْبٌ عَلَى وَرَقَةٍ مِنْهَا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ, اَبُوْ بَكْرِ نِالصِّدِّيْقُ, عُمَرُ الْفَارُقُ, عُثْمَانُ ذُوالنُّورَيْنِ
Artinya:
"Di surga tidak ada satu pohon pun, selain pohon yang daunnya ditulis dengan kalimat la ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq, 'Umar Al Faruq, dan 'Utsman Dzunnurain".

Golongan Abbasyiyah juga tidak ketinggalan dalam membuat hadits maudlu' untuk mempertahankan golongannya. Misalnya:
اِنَّ النَّبِيَّ قَالَ لِلْعَبَّاسِ: اِذَا كَانَ سَنَةُ خَمْسٍ وَثَلاَثِيْنَ وَمِائَةٍ فَهِىَ لَكَ وَلِوَلَدِكَ السَّفَاحِ وَالْمَنْصُوْرِ وَالْمَهْدِيِّ
Artinya:
"Bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda kepada Al 'Abbas: Bila telah tiba tahun 135 H, maka tahun itu adalah untukmu dan anak-anakmu, yakni Abul 'Abbas As Safah, An Manshur, dan Al Mahdi".

Golongan Khawarij walaupun termasuk golongan terkecil dari golongan Syi'ah juga tidak ketinggalan dalam membuat hadits maudlu'. Ibnu Hatim mengutip perkataan seorang guru dari golongan Khawarij yang telah taubat, sebagai berikut:
اِنَّ هَذِهِ اْلاَحَادِيْثَ دِيْنٌ. فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ فَاِنَّ كُنَّا اِذَا هَوَيْنَا اَمْرًا صَيَّرْنَاهُ حَدِيْثًا


Artinya:
"Bahwa hadits-hadits ini adalah suatu agama. Oleh karena itu telitilah dari siapa kamu mengambil pelajaran agama! Kamu sendiri bila menghendaki sesuatu hal, hal itu kami rubah (sedemikian rupa) menjadi suatu hadits".

2)      Untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam.
Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Zindiq. Mereka itu adalah orang-orang yang dongkol hatinya melihat kepesatan tersiarnya agama Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka sakit hati melihat orang berbondong-bondong masuk agama Islam. Hal ini terjadi karena Islam menjamin kemerdekaan berpikir memberikan kemuliaan pribadi dan kebenaran aqidahnya. Dengan maksud mengeruhkan dan merusak agama Islam, mereka membuat beribu-ribu hadits maudlu' dalam bidang aqidah, akhlak, pengobatan dan hukum tentang halal haramnya suatu perbuatan.
Di antara hadits maudlu' yang mereka ciptakan ialah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا عَشِيَّةَ عَرَفَةَ عَلَى جَمَلٍ اَوْرَقٍ يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ وَيُعَانِقُ الْمُشَاةَ
Artinya:
"Tuhan kami turun dari langit pada sore hari di 'Arafah dengan kendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang berjalan".

Dan hadits maudlu':
رَأَيْتُ رَبِىّ لَيْسَ بَيْنِى وَبَيْنَهُ حِجَابٌ فَرَأَيْتُ كُلَّ شَيْءٍ مِنْهُ حَتَّى رَأَيْتُ تَاجًا مُخَوَّصًا مِنَ اللُّؤْلُوءِ


Artinya:
"Aku telah melihat Tuhanku tanpa hijab antara aku dan Dia. Karena itu kulihat segala sesuatu hingga kulihat sebuah mahkota yang terhias dari mutiara".

Tokoh-tokoh mereka yang terkenal dalam membuat hadits maudlu' adalah:
a)      Abdul Karim bin Abil-Auja', yang akhirnya dibunuh oleh Muhammad bin Sulaiman, Walikota Basrah. Ketika ia dikerek di tiang gantungan untuk dipenggal kepalanya, mengaku telah membuat hadits maudlu' sebanyak 4000 hadits.
b)      Bayan bin Sam'an Al Mahdi, yang mati dibunuh oleh Khalid bin Abdillah.
c)      Muhammad bin Sa'id Al Mashlub yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja'far Al Mansyur.

Khalifah yang mempunyai perhatian serius untuk memberantas gerakan Zindiq ialah Khalifah Al Mahdi. Beliau mengadakan biro khusus untuk mengikis faham Zindiqiyah.

3)      Fanatik kebangsaan, kesukuan, kedaerahan, kebahasaan, dan kultus individu terhadap imam mereka
Mereka yang ta'ashshub (fanatik) kepada bangsa dan bahasa Persi mengutarakan hadits maudlu':
اِنَّ اللهَ اِذَا غَضِبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ وَاِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ
Artinya:
"Sungguh Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan bila rela menurunkan wahyu dengan bahasa Persi".


Kemudian mereka yang merasa tersinggung membuat hadits untuk menandinginya:
اِنَّ اللهَ اِذَا غَضِبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ وَاِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ
Artinya:
"Sungguh Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dengan bahasa Persi dan bila rela menurunkan wahyu dengan bahasa Arab".

Mereka yang mendewa-dewakan Abu Hanifah membuat hadits maudlu':
سَيَكُوْنُ رَجُلٌ فِى اُمَّتِى يُقَالُ لَهُ اَبُوْ حَنِيْفَةَ النُّعْمَانُ هُوَ سِرَاجُ اُمَّتِى
Artinya:
"(Rasulullah saw. bersabda): Nanti bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku yang bernama Abu Hanifah An Nu'man sebagai pelita ummatku".

Kemudian golongan Syaf'iyah yang sempit pandangannya melibatkan diri untuk membuat hadits maudlu' untuk malawan pengikut-pengikut Hanafiyah:
سَيَكُوْنُ فِى اُمَّتِى رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ اِدْرِيْسٍ هُوَ اَضَرُّ عَلَى اُمَّتِى مِنَ اْلاِبْلِيْسِ
Artinya:
"(Rasulullah saw. bersabda): Nanti bakal lahir seorang laki-laki dalam ummatku yang bernama Muhammad bin Idris yang paling menggentarkan ummatku daripada iblis".

4)      Membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat untuk menarik minat para pendengarnya
Kisah dan nasihat-nasihat yang mereka buat itu didakwakan berasal dari Nabi Muhammad saw. Misalnya kisah-kisah yang menggembirakan tentang surga, ia lukiskan:
فِيْهَا الْحَوْرَاءُ مِنْ مِسْكٍ اَوْ زَعْفَرَانٍ وَعَجِيْزَتُهَا مَيْلٌ فِى مَيْلٍ وَيُبْوِئُ اللهُ وَلِيَّهُ قَصْرًا مِنْ لُؤْلُؤَةٍ بَيْضَاءَ فِيْهَا سَبْعُوْنَ اَلْفِ مَقْصُوْرَةٍ فِى كُلِّ مَقْصُوْرَةٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ قُبَّةٍ فَلاَ يَزَالُ هَكَذَا فِى السَّبْعِيْنَ اَلْفًا لاَيَتَحَوَّلُ عَنْهَا
Artinya:
"Di dalam surga itu terdapat bidadari-bidadari yang berbau harum semerbak, masa tuanya berjuta-juta tahun dan Allah menempatkan mereka di suatu istana yang terbuat dari mutiara putih. Pada istana itu terdapat 70.000 paviliun yang setiap paviliun mempunyai 70.000 kubah. Yang demikian itu tetap berjalan sampai 70.000 tahun tidak bergeser sedikitpun".

5)      Mempertahankan mazhab dalam masalah khilafiyah fiqhiyah dan kalamiyah
Mereka yang menganggap tidak sah sembahyang dengan mengangkat tangan tatkala sembahyang, membuat hadits maudlu':
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الصَّلاَةِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
Artinya:
"Barangsiapa mengangkan kedua tangannya di dalam shalat maka tidak sah shalatnya".

Golongan Mutakallimin mengkafirkan orang yang berpendapat bahwa Al Qur'an itu makhluk (ciptaan baru), dengan mengeluarkan hadits yang didakwakan berasal dari Nabi Muhammad saw.
كُلُّ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَهُوَ مَخْلُوْقٌ غَيْرُ اللهِ وَالْقُرْآنِ, سَيَجِيْئُ اَقْوَامٌ مِنْ اُمَّتِى يَقُوْلُوْنَ: اَلْقُرْآنُ مَخْلُوْقٌ فَمَنْ قَالَ ذَالِكَ فَقَدْ كَفَرَ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَطُلِقَتْ مِنْهُ اِمْرَأَتُهُ مِنْ سَاعَتِهَا
Artinya:
"Setiap yang ada di langit, di bumi, dan di antara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan Al Qur'an. Nanti bakal datang kaum-kaum dari ummatku yang mengatakan bahwa Al Qur'an itu makhluk (baharu). Oleh sebab itu, barangsiapa mengatakan demikian, sungguh kafir terhadap Allah Yang Maha Besar, dan tertalaklah istrinya sejak saat itu".

6)      Mencari muka di hadapan para penguasa untuk mencari kedudukan atau mencari hadiah

7)      Kejahilan mereka dalam ilmu agama disertai dengan adanya kemauan keras untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya
Mereka menganggap bahwa membuat hadits untuk tarqhib dan tarhib, demi untuk taqarrub kepada Allah dan berkhidmat kepada agama, diperbolehkan. Mereka banyak membuat hadits maudlu' tentang keutamaan surat-surat Al Qur'an di luar apa yang telah diterangkan oleh nash-nash yang sharih.

e.   Usaha-usaha para ulama dalam memberantas pemalsuan hadits
Usaha-usaha para ulama dalam memelihara sunnah dan membersihkannya dari pemalsuan hadits ialah:

1)      Meng-isnad-kan hadits
Pada awal-awal Islam, yakni sejak dari masa Rasulullah saw. masih hidup sampai dengan timbulnya fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan r.a. para shahabat saling percaya-mempercayai satu sama lain. Para tabi'in tidak ragu-ragu menerima berita dari shahabat tentang hadits Rasulullah saw. Akan tetapi setelah terjadi fitnah dan kaum muslimin sudah mulai berpecah belah dalam beberapa partai dan golongan serta mulai bertebaran pemalsuan hadits-hadits Rasulullah, maka para shahabat dan tabi'in sangat berhati-hati dalam menerima hadits dari rawi-rawinya.
Mulailah mereka meminta sanad kepada orang yang menyampaikan hadits dan akhirnya menetapkan sanad suatu hadits. Sebab, sanad bagi hadits bagaikan nasab bagi seseorang.
Muhammad bin Sirrin (seorang tabi'i yang lahir tahun 33 H meninggal tahun 110 H) menceritakan bahwa "para shahabat yang semula dalam menerima hadits tidak selalu menanyakan sanadnya. Akan tetapi setelah terjadi fitnah, mereka selalu meminta untuk disebutkan sanadnya. Kemudian setelah disebutkan sanadnya, lalu diteliti; kalau sanad itu terdiri dari ahli sunnah, diambilnya dan kalau terdiri dari ahli bid'ah, ditolaknya".

2)      Meningkatkan perlawatan hadits
Mereka meningkatkan perlawatan mencari hadits dari satu kota ke kota lain untuk menemui para shahabat yang meriwayatkan hadits. Sejak saat itu, para penuntut hadits apabila mendengar suatu hadits dari seorang rawi, dengan segera mereka mencari shahabat Rasulullah untuk memperkuatnya. Demikian juga para shahabat mengadakan perlawatan mencari hadits dari kawannya shahabat yang berada di luar daerahnya. Misalnya shahabat Ayyub menemui shahabat 'Uqbah bin Amir di Mesir dan shahabat Jabir menemui shahabat 'Abdullah bin Anis untuk mencari suatu hadits.
Abu 'Aliyah mengatakan bahwa ia tidak rela kalau mendengar hadits dari shahabat Rasulullah saw. yang berada di Basrah, sekiranya ia tidak pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadits tersebut dari para shahabat yang berada di sana.

3)      Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits
Dalam rangka berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari mereka, menumpas para pemalsu hadits, melarang mereka (pemalsu hadits) untuk meriwayatkan hadits dan menyerahkan pemalsu hadits kepada penguasa.
'Amir Asy Sya'bi pernah bertemu dengan Abu Shalih dan beliau memarahinya. Bentaknya: "Celaka kamu! Kenapa kamu menafsirkan Al Qur'an, padahal kamu tidak baik membacanya".
Murrah Al Hamdani pernah mendengar sebuah hadits dari Al Harits Al A'war pendukung golongan Syi'ah yang banyak membuat hadits maudlu', lalu ia disuruh jongkok di muka pintu dan kemudian  dibunuh.

4)      Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya
Para shahabat, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in mempelajari biografi para rawi, tingkah lakunya, kelahirannya, kamatiannya, keadilannya, daya ingatannya, dan kemampuan menghafalnya untuk membedakan hadits yang shahih dan yang palsu. Jika terdapat sifat-sifat yang tercela, mereka beritahukan kepada khalayak umum. Mereka mengkritik atau memuji identitas seorang rawi, hanya semata-mata takut kepada Allah. Mereka mengambil hadits dari seorang rawi, bukan karena takut kepada rawi tersebut atau karena belas kasihan.
Untuk kepentingan itu, mereka membuat ketentuan-ketentuan untuk menetapkan sifat-sifat rawi yang dapat dan tidak dapat diambil, ditulis atau diriwayatkan haditsnya.
Para rawi yang tidak boleh diambil haditsnya ialah:
a)      Orang yang mendustakan Rasulullah saw.
b)      Orang yang berdusta dalam pembicaraan umum, walaupun tidak berdusta kepada Rasulullah saw.
c)      Ahli bid'ah.
d)     Orang Zindiq, fasiq, pelupa dan orang yang tidak mengerti apa yang diceritakannya.



Adapun para rawi yang ditangguhkan periwayatannya ialah:
a)      Orang yang diperselisihkan tentang jarh (cacat) dan ta'dil (keadilan)-nya.
b)      Orang yang banyak salahnya daripada benarnya serta banyak berlawanan dengan periwayatan orang tsiqah.
c)      Orang yang banyak lupa.
d)     Pelupa karena lanjut usia.
e)      Orang yang kurang baik hafalannya.

5)      Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits
Mereka membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih, hasan, dan hadits dla'if.

6)      Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudlu'
Mereka membuat ketentuan mengenai tanda-tanda (ciri-ciri) hadits maudlu', baik ciri-ciri yang terdapat pada sanad maupun matannya.[1]

4.  Kedudukan Hadits Dla'if
Sebagaimana telah kita ketahui, tidaklah sama hal-hal yang menyebabkan hadits menjadi jatuh ke dalam hadits dla'if. Cacat hadits dla'if berbeda-beda, baik macamnya maupun berat ringannya. Oleh karena itu tingkatan (martabat) hadits dla'if juga berbeda. Dari hadits yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya, maka hadits yang paling buruk atau paling rendah martabatnya adalah hadits maudlu' dan berturut-turut hadits matruk, hadits munkar, hadits mu'allal, hadits mudraj, hadits maqlub dan seterusnya. Dari hadits-hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya, maka hadits yang paling lemah adalah hadits mu'allaq (kecuali hadits-hadits shahih yang diriwayatkan secara mu'allaq oleh Bukhari dalam kitab shahihnya), dan selanjutnya hadits mu'dlal, hadits munqathi', yang terakhir hadits mursal.
Kendati berbeda tingkatan hadits-hadits dalam lingkungan hadits dla'if, namun hadits dla'if tetaplah hadits dla'if yang harus dipandang sebagai bukan hadits Rasulullah saw. Oleh sebab itu, para ulama sepakat untuk menolak hadits dla'if sebagai hujjah (dasar, dalil, alasan) dalam menetapkan akidah dan hukum. Para ulama memang berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memakai hadits dla'if tertentu, yang menjelaskan tentang berbagai keutamaan yang terkandung dalam suatu amal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagian ulama membolehkan karena memandang bahwa hadits tersebut dapat mendorong orang untuk lebih giat mewujudkan amal yang diperintahkan itu. Tapi sebagian lagi tidak membolehkan memakai hadits dla'if manapun, karena khawatir bahwa orang banyak akan memandang hadits dla'if yang dipakai itu sebagai hadits Rasulullah. Padahal hadits tersebut harus dipandang bukan sebagai hadits beliau.
Jadi, hadits dla'if seperti halnya dengan pembicaraan manusia lainnya yang bukan Rasulullah, tidak mempunyai kedudukan sebagai sumber pokok ajaran Islam dalam semua aspeknya.